Bab 14

1.1K 154 8
                                    

Brian membanting ponsel pintarnya ke atas meja dengan keras. Ia menatap layar ponsel yang sedari tadi gelap. Saat ini ia berada di lantai teratas perusahaanya. Diluar sana, melalui dinding kaca ruangan, ia bisa melihat cuaca tengah diselimuti awan gelap. Segelap pikirannya.

"Sialan! Perempuan keras kepala itu memang harus diberi pelajaran," geram Brian sembari mengusap wajahnya yang lelah. Ya, perempuan  keras kepala yang dimaksud Brian adalah Sheila, calon istrinya. Bagaimana tidak, ia sibuk seharian mengurus kerjaan kantor ditambah persiapan pernikahan yang syukurnya sudah hampir selesai. Bukan perkara sulit mengatur persiapan pernikahan. Uang dan kekuasaan, dengan dua hal itu semua berjalan sempurna. Hanya satu yang kurang, dan itulah yang menjadi penyebab ia merasa uring-uringan sejak pagi tadi.

Perempuan keras kepalanya, Sheila, sangat sulit dihubungi. Padahal hari ini mereka ada jadwal memilih gaun pengantin. Jika saja ia tahu ukuran pakaian Sheila, sudah tentu ia tidak akan repot-repot mengajak perempuan itu untuk memilih. Sialan! Lagi-lagi umpatan kesal keluar dari mulutnya. Ingatkan dirinya, jika sudah menikah nanti, akan ia pastikan berapa ukuran tubuh Sheila dari atas hingga bawah, jadi ia tidak perlu merasa kesusahan seperti ini.

Brian meraih ponselnya dan kembali mendial nomor Sheila. Panggilannya masuk tapi tak kunjung diangkat. Di dering terakhir sebelum panggilannya mati, suara yang amat ia nantikan sejak tadi terdengar.

"Hmm.. ada apa?!"Suara Sheila yang terdengar jutek, membuatnya tanpa sadar tersenyum. Entahlah, seharusnya ia kesal, tapi kenapa ia malah tersenyum? Tapi secepat kilat ia membuat ekspresi wajahnya kembali datar dan dingin, seolah Sheila bisa melihatnya.

"Kamu nggak lupa kan kalau hari ini kita pergi ke butik?" Tanya Brian penuh penekanan.

"Nggak."

"Oke setengah jam lagi aku jemput kamu di kantor," kata Brian tegas tanpa bisa dibantah. Ia lantas mematikan panggilannya dan memasukkan ponsel ke saku celana.

Ia meraih kunci mobil dan bergegas pergi, namun langkahnya terhenti saat pintu ruangannya terbuka, menampilkan dua orang yang selama ini membuatnya jengah.

Terpaksa ia harus meladeni kedua orang tersebut.

"Aku tidak perlu basa-basi, kudengar dari ibumu kalau kamu besok akan menikah." Itu bukan pertanyaan tapi pernyataan. Brian melihat dengan malas sosok yang selama ini selalu bersikap otoriter terhadapnya hingga ia menjadi pengecut, Papanya. Kemudian ia melirik perempuan yang disebut ibu oleh papanya tersebut dan tersenyum sinis. Bahkan perempuan itu lebih pantas ia panggil adik daripada ibu.

"Ya," jawab Brian singkat.

"Tuh kan sayang, apa aku bilang, Brian mau menikah. Tapi kok dia kurang ajar sama kedua orang tuanya, nggak minta restu dulu." Suara perempuan manja itu membuat Brian jijik setengah mati. Andai saja papanya tahu kelakuan istri barunya itu.

"Kamu sudah nggak anggap papa dan ibu sebagai orang tua kamu?!" Tanya Barata dengan tajam.

"Sejak kapan papa anggap aku anak? Bukannya dari dulu papa cuma anggap aku sebagai alat untuk memperluas jaringan bisnis papa, begitupun dengan mama," Tanya Brian dengan sinis.

"Kurang ajar kamu!" Bersamaan dengan bentakan Barata, sebuah tamparan keras melayang ke pipi kiri Brian.

"Kenapa? Apa aku salah?" Tanya Bria sambil menampilkan senyum sinisnya.

"KAMU!!"

"Oh ya Clara, sepertinya kamu juga dianggap alat aja sama orang ini." Perempuan bernama Clara yang disebut ayahnya sebagai ibunya tersebut hanya diam membisu.

"BRIAN!!! Jangan mentang-mentang kamu sudah sukses, kamu bisa melawan papa. Kamu ingat! Perusahaan kamu ini bisa papa hancurkan hanya dalam hitungan detik!"

Brian dan Sheila ( Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang