Bab 11

1.2K 152 2
                                    

Hati Brian mencelos menyaksikan  kedekatan antara Sheila dan Elang. Timbul rasa sesak yang sulit untuk ia jabarkan. Bagaimana seorang Sheila terlihat begitu menyayangi Elang, begitu pun sebaliknya. Sekarang timbul pertanyaan dalam benaknya, terlalu egoiskan dirinya jika memaksa masuk diantara kebahagiaan kedua orang itu? Namun, jangan panggil ia Brian jika ia tidak mampu membuat kedua orang itu menjadi miliknya.

Maka dengan menebarkan senyum lebar, yang sebenarnya sama sekali bukan gayanya, ia berjalan menghampiri ibu dan anak yang tengah terjebak disuasana melankolis bin dramatis di depannya.

"Elang, nasi gorengnya sudah siap," katanya ceria tanpa meninggalkan senyum yang lebar. Ia menyodorkan sepiring nasi goreng ke hadapan Elang.

Elang bersorak girang," wah, kelihatannya enak nih masakannya, Elang makan ya om." Brian mengangguk dan melihat Elang makan dengan lahap. Ada rasa sesak tiap Elang memanggilnya dengan sebutan 'om'. Jika saja dulu ia bukan seorang pecundang, mungkin saat ini Elang akan memanggilnya papa.

"Widih, masakan om Brian juara deh, enak banget. Kalah deh abang-abang nasi goreng di depan komplek sana sama rasa masakan om."

"Elang bisa saja, tapi makasih ya udah dipuji," jawab Brian tanpa meninggalkan kesan ramah dan ceria di wajahnya. Ia merasa senang masakannya yang sebenarnya rasanya biasa-biasa saja dimakan dengan lahap oleh Elang. Ia kemudian melirik Sheila yang antara terpaku dan bengong melihat ke arahnya. Entah kenapa melihat Sheila yang terkejut  dengan bibir sedikit terbuka membuat Sheila terlihat menggemaskan. Kalau saja tidak ada Elang, rasanya ia ingin melumat bibir Sheila saat itu juga.

Bahkan ketika ia menyodorkan sepiring nasi goreng dan menyuapkan sesendok ke dalam mulut Sheila, Sheila masih tidak bergeming. Ia jadi merasa sedikit tidak nyaman ditatap seperti. Okelah, mungkin Sheila terkejut dengan ekspresi ceria dan juga senyum lebarnya. Jangankan Sheila, ia sendiripun merasa terkejut. Ia tidak menduga ternyata ia masih bisa bersikap ceria dan tersenyum lebar seperti itu di hadapan orang lain. Tapi Elang bukan orang lain. Elang adalah anaknya, darah dagingnya.

Beberapa saat setelah sarapan selesai, dengan Sheila memakan sarapannya sendiri tanpa disuapi oleh Brian. Sheila mengambil tanggung jawab untuk mencuci piring, sedangkan Brian sedang duduk bersama Elang, bercerita tentang segala hal terutama tentang keseharian Elang. Beberapa kali ia merasa Sheila tengah mengawasinya. Beberapa kali pandangan mereka bertemu, membuat Sheila begitu cepat mengalihkan pandangan. Brian tersenyum tipis dan kembali mengobrol dengan Elang.

🌼🌼

Sheila mendumel dalam hati. Perasaannya sungguh kesal.  Selalu saja Brian menemukan cara untuk mengalihkan niat awalnya untuk memaki dan memarahi pria itu.

Setelah menyelesaikan sarapan dan mencuci piring, Sheila bergegas ke kamar mandi yang berada dalam kamarnya. Karena kesal ia menutup pintu kamar mandi begitu saja dan langsung melepaskan pakaiannya. Dihidupkannya shower hingga air menyembur, membasahi seluruh tubuhnya. Andai saja ia tidak dikejar oleh deadline pekerjaan, mungkin ia lebih memilih mandi berendam di bathup dengan ditambahi sabun aroma terapi yang bisa membuat otak dan tubuhnya relax. Nyatanya berhadapan dengan Brian mampu menyedot seluruh kadar kewarasananya.

Dirasa sudah cukup dengan aktifitas mandinya, Sheila mengambil handuk yang tergantung di kamar mandi dan melilitkan di tubuhnya. Ketika ia berbalik, bermaksud kembali ke kamar, alahkah terkejutnya mendapati Brian tengah berdiri santai  di ambang pintu kamar mandi, melihatnya tanpa berkedip. Lantas Sheila mengikuti arah pandang lelaki itu.

Ia berteriak keras.

"Arghhh!!!"

"Berhenti berteriak! Kamu ingin Elang masuk kesini dan berasumsi yang bukan-bukan?" Tanya Brian, masih tanpa berkedip menyaksikan kemolekan tubuh Sheila.

"Sejak kapan kamu disitu?!" Tanya Sheila tapi kali ini dengan suara pelan tapi penuh dengan penekanan. Ia geram bukan main terhadap kelancangan Brian.

Bukannya menjawab, Brian justru melangkah masuk ke kamar mandi dan menutup pintunya. Sheila refleks mundur dengan pikiran yang sudah traveling kemana-mana. Alarm bahaya dalam otaknya ikut berdering nyaring.

"Mau apa kamu? Keluar dari sini atau akan kupukul kepalamu dengan ini?" Tekan Sheila dengan suara sedikit gemetar. Ia mengangkat sebuah sikat kamar mandi yang lumayan besar. Setidaknya Brian akan meringis nyeri jika ia pukul dengan ini.

Brian tersenyum miring. Ia tidak menghiraukan peringatan Sheila. Fokusnya hanya satu hal. Ia berjalan santai menghampiri dimana Sheila berdiri. Jarak dirinya Brian sudah semakin dekat. Sheila sudah mengambil ancang-ancang untuk memukul kepala Brian. Tapi ketika Brian sudah dekat dan tengah mengulurkan tangan, mata Sheila justru terpejam ketakutan. Menunggu beberapa saat, tidak terjadi apapun. Sheila berpikir mungkin Brian sudah pergi karena takut ia pukul.

Dengan perlahan Sheila membuka matanya dan masih mendapati Brian berdiri tepat di depannya, dengan jarak kurang dari sejengkal.

"Segitu takutnya kamu sama aku? Aku cuma mau matiin air shower kamu, itu masih netes," kata Brian sembari mematikan shower hingga tidak ada air lagi yang menetes. Sheila sedikit bernafas lega, ternyata segala pikiran negatifnya keliru.

"Atau kamu memang mengharapkan sesuatu terjadi sama kita?" Tanya Brian dengan senyym miring khas miliknya.

"Ja-jangan mimpi. Aku nggak pernah berharap apapun dari kamu!" Telak Sheila. Ia menatap mata Brian meski perasaannya sedikit gentar.

"Oh ya? Atau aku yang keliru berprasangka seperti padamu?" Mata Brian memancarkan  aura berbahaya bagi Sheila. Sheila mundur  hingga punggungnya yang telanjang menyentuh dinding kamar mandi yang dingin.

Sheila kesal. Bisa-bisanya Brian menggodanya seperti itu. Lagipula sejak kapan Brian mulai terlihat banyak omong. Selama ini Brian cenderung diam dan dingin. Mungkin benar prasangkanya kalau si Brian sudah kerasukan jin komplek rumahnya.

"Jangan macam-macam kamu!" Gertak Sheila, meski ia sadar gertakannya tidak berguna. Yang ia lawan seorang Brian Sagara, ibaratnya Brian itu seorang Alpha yang tak terkalahkan.

Brian kembali tersenyum miring, tapi ekspresi misterius yang Brian timbulkan, membuat bulu kuduk Sheila merinding.

"Kalau aku hanya minta satu macam bagaimana? Apa kamu sanggup?"

"Satu macam, dua macam atau apapun itu jangan bermimpi. Keluar kamu sebelum aku teriak!"

"Silahkan saja! Aku jadi nggak perlu repot melakukan sesi lamaran dan segala pernak-perniknya. Dengan senang hati aku akan menikahimu saat ini juga jika digrebek tetangga."

Sheila mengumpat dalam hati. Suara yang keluar dari mulut Brian begitu tenang, berbeda dengan dirinya yang sudah kalang kabut. Bagaimana tidak, ia terjebak diruangan yang sangat tertutup dengan kondisi tubunya yang hanya memakai selembar handuk. Bukankah ini namanya sudah terjebak? Ia harus memikirkan cara agar terlepas dari jebakan ini.

"Minggir! Aku dan Elang nanti bisa telat." Mungkin itulah satu-satunya alasan agar ia bisa terlepas dari jebakan yang dibuat oleh Brian.

"Elang sudah berangkat dengan bi Kinan, dan aku juga sudah menghubungi kantormu kalau kamu akan telat datang."

Sial. Sheila benar-benar kehilangan akal.

"Brengsek! Aku bilang minggir!!" Teriak Sheila. Begitu tahu hanya ada mereka berdua di rumah ini, membuat emosi Sheila melonjak. Bahkan ia sampai mendorong tubuh Brian dengan keras. Namun sekeras apapun ia mendorong, Brian tak bergeming dari tempatnya.

"Jadi mari kita selesaikan urusan kita honey," ucap Brian dengan senyum liciknya.

🌼🌼🌼
Tbc

Woah!!! Kira-kira si Brian mau ngapain si Sheila nih? Jangan bilang mau dibikin bunting lagi.

Seperti biasanya, ketik langsung up tanpa revisi, jadi harap maklum kalo banyak typo.

Jangan lupa votmen,
Makasih ❤❤

Brian dan Sheila ( Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang