Bab 6

1.3K 159 6
                                    

Sheila menyelinap ke balik pohon beringin yang berada di tengah halaman kampus begitu melihat sosok Brian dari kejauhan. Ia menekan dadanya yang berdegub kencang. Kalau di pikir untuk apa dirinya sembunyi? Tapi kalau tidak sembunyi, kejadian di toilet tempo hari akan kembali terulang. Dan Sheila tidak mau itu terjadi. Sheila sendiri merasa seperti wanita murahan tiap berada dekat Brian.

Sheila mengintip dan tidak melihat Brian lagi. Sheila bisa bernafas lega untuk sekarang. Ia harus belajar mengontrol diri dan menangani Brian supaya ia tidak perlu lagi menghindar. Karena bagaimanapun kemungkinan mereka bertemu sangatlah banyak, mengingat mereka berada dalam satu kampus dan juga kelas yang sama.

Sheila memastikan sekali lagi keadaan sekitar. Setelah merasa cukup aman dari jangkauan Brian, ia keluar dari balik pohon. Ia menghela nafas dan mulai melangkah, namun langkahnya mendadak berhenti, jantungnya ikut berdetak kencang melihat seseorang yang tengah menghadangnya.

Sheila menatap Brian dengan malas. Wajah Brian yang dingin dan datar sedatar triplek membuatnya kesal. Tanpa mempedulikan Brian, ia mengambil langkah ke samping menghindari bertabrakan dengan Brian. Namun lagi-lagi Brian kembali menghadangnya. Sheila menatap Brian dengan tajam, tapi seperti biasa tatapan matanya tidak dihiraukan oleh Brian.

"Sampai kapan mau menghindar?" Tanya Brian dengan datar.

"Siapa yang menghindar?" Tanya balik Sheila.

"Lo."

"Gue? Lo nggak usah kege'eran deh. Gue nggak menghindari lo, buat apa juga?" Jawab Sheila dengan senyum sinis.

Brian diam tapi dengan tatapan mata yang tak lepas dari Sheila. Sheila tidak mau kalah, ia balas menatap mata Brian dengan berani.

"Minggir! Gue mau lewat." Sheila melangkah, namun tangannya dicekal kuat oleh Brian. Sheila menatap Brian kesal dan melihat ke sekeliling. Sudah banyak orang berlalu lalang di sekitar kampus, jadi Sheila berpikir tidak mungkin Brian akan berbuat macam-macam di tempat seramai ini.

"Lepasin! Lo mau ngapain? Lo nggak sebodoh itu kan buat berbuat onar di tempat seramai ini?"

Brian tidak menanggapi ucapan Sheila. Matanya hanya fokus melihat Sheila. Sheila sendiri merasa tubuhnya mulai bergetar ketakutan saat menyadari orang seperti apa Brian. Bahkan beberapa orang yang menyaksikan mereka berdua, tidak mengurangi rasa takutnya.

"Kita perlu bicara," kata Brian tegas.

"Nggak ada yang perlu dibicarakan!" Bantah Sheila sambil menghentakkan tangan yang dicekal oleh Brian.

"Oke, lo pilih gue bicara disini biar semua orang tahu kalau elo...." Brian mendekatkan bibirnya ke telinga Sheila dan berbisik," hamil atau ikut gue sekarang?"

Mata Sheila membola, jantungnya berdetak sangat kencang. Ia tidak menyangka kalau Brian akan mengungkit kehamilannya secepat ini. Ia pikir Brian tidak peduli dengan kehamilannya mengingat saat di UKS beberapa hari lalu, Brian pergi begitu saja saat tahu kalau dirinya hamil.

Akhirnya Sheila mengalah, lebih memilih mengangguk daripada membuat dirinya menjadi pusat tontonan orang-orang kampus.

"Kita bicara di mobil." Sheila akhirnya mengikuti Brian berjalan dimana mobil Brian terparkir.

Sudah lima menit berlangsung sejak mereka masuk ke dalam mobil Brian tapi belum ada satupun yang memulai pembicaraan. Suasana begitu hening, hanya suara deru kendaraan di jalanan depan kampus dan suara orang-orang mengobrol di sekitaran kampus yang terdengar.

Sheila meremas jemarinya yang basah karena keringat. Ia menanti pembicaraan apa yang akan terucap dari bibir Brian. Apa Brian akan bertanggung jawab ataukah sebaliknya? Dada Sheila bergemuruh oleh karena gugup.

Ia menarik nafas panjang lalu berpaling menghadap Brian. Ia menguatkan diri dan hatinya untuk menatap ke dalam mata Brian.

"Lo nggak perlu khawatir, gue nggak akan minta lo buat bertanggung jawab. Gue bisa menangani ini sendiri."

"Dengan cara?" Tanya Brian membalas tatapan mata Sheila.  Sheila sendiri merasa bingung. Ia tidak tahu harus apa untuk menangani kejadian ini. Yang jelas menggugurkan janin tak berdosa bukanlah bagian dari pilihannya. Ia tidak mungkin tega menghilangkan bayinya yang masih berbentuk segumpal daging. Sheila menatap luar mobil yang dipenuhi hiruk pikuk mahasiswa yang memulai rutinitas mereka.

Sepertinya Brian menyadari raut kebingungan Sheila. Kehamilan Sheila adalah pukulan besar baginya. Ia tidak mengharapkannya. Ia belum siap dan mungkin tidak akan pernah siap.

"Gugurkan saja!" Perintah Brian dingin pada akhirnya. Sheila menoleh dengan cepat pada Brian. Ia sudah menyiapkan hati jika saja Brian berkata seperti itu. Tapi ternyata rasa sakitnya belum mampu ia atasi. Meski diantara mereka berdua tidak ada cinta. Tapi Sheila tidak mengira kalau Brian akan setega itu pada darah dagingnya sendiri. Tapi Sheila tidak berkata apa-apa, ia memilih diam sambil mengamati keadaan sekeliling yang terlihat ramai namun terasa sepi baginya.

"Lagipula gue nggak yakin anak yang lo kandung sekarang adalah anak gue."

Lagi-lagi Sheila menoleh dengan cepat ke arah Brian. Raut wajahnya pias oleh amarah.

"Ternyata bener kata orang, lo itu bajingan!" Desis Sheila sembari membuka pintu mobil. Sebelum keluar dari mobil ia berkata," kalau lo nggak yakin anak di perut gue ini anak lo atau bukan, nggak seharusnya lo menyarankan buat gugurin. Lo nggak berhak ngasih pilihan ke gue. Oh ya mulai detik ini gue nggak akan muncul di hadapan lo lagi." Setelah itu Sheila keluar dari mobil Brian dengan dada sesak. Sekali lagi ia tekankan diantara mereka tidak ada cinta, tapi setidaknya Brian harus menghormatinya dan janinnya. Satu tetes airmatanya lolos begitu saja membayangkan janin tak berdosa di rahimnya direnggut paksa oleh manusia tak bertanggung jawab.

🌼

Sheila menatap sosok jangkung yang berdiri di depannya dengan nyalang. Tubuhnya mendadak kaku. Kakinya sulit digerakkan seperti dipaku menyatu dengan bumi. Sosok jangkung yang dulu melukainya kini berdiri gagah bak seorang raja yang berkuasa. Mata Brian menatap ke dalam matanya. Tatapan matanya masih sama seperti dulu. Perlahan garis bibirnya tertarik, memperlihatkan senyum miring pada Sheila.

"Apa kabar Sheila Maria?" Tanya Brian dengan suara datar tapi dengan tatapan tajam bak elang yang mengincar mangsanya. Sheila masih tertegun. Mulutnya pun ikut terkunci, mendadak ia merasa kehilangan pita suaranya.

Belum sempat ia mengendalikan rasa terkejutnya, satu sosok kembali keluar dari dalam mobil Brian. Dan ia tahu siapa gerangan dibalik pertemuannya dengan si manusia es ini terjadi, mamanya.

"Shei, kamu kok lama banget sih keluarnya? Untung nak Brian sabar banget nungguin kamu." Mama Sheila berjalan menghampirinya dan Brian yang masih berdiri di depan lobi.

"Maaf ya nak Brian tadi kelamaan nunggunya. Oh ya ini Sheila anak tante, kalian tadi udah kenalan kan?" Mama Sheila berujar dengan ceria tidak menyadari raut Sheila yang begitu tertekan.

Brian mengangguk sambil menampilkan senyum miringnya.

"Shei, ini kenalin nak Brian, pewaris utama Sagara Group yang mama bilang kemarin. Dia bilang pengen kenalan sama kamu dan tertarik sama kamu." Ucapan Mamanya bagaikan bom waktu yang siap meledakkan dirinya. Kenapa mamanya mengambil keputusan sesuka hatinya?

🌼🌼🌼

TBC

Brian dan Sheila ( Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang