Bab 22

1K 139 19
                                    

Sheila merasa ada yang salah pada dirinya. Tapi entah dimana letak kesalahannya tersebut. Beberapa hari ini, ia sulit berkonsentrasi pada kerjaannya dan hampir semua aktifitas yang ia lakukan terasa salah.

Dan sudah beberapa hari ini juga sejak percintaan panas mereka, Brian tidak pulang. Perasaannya bercampur aduk. Antara gelisah, cemas dan juga kesal. Bahkan nomor ponselnya pun tak aktif. Ingin menghubungi nomor kantor, tapi Sheila tidak tahu. Bahkan dirinya tidak tahu dimana Brian bekerja karena selama ini ia memang tidak mau tahu. Ia tidak peduli.

Pikiran buruk langsung saja singgah di kepala cantiknya tatkala Brian menghilang begitu saja tanpa warta berita. Apakah Brian pada akhirnya kabur setelah berhasil merayunya? Apakah niat Brian mendekatinya karena ingin balas dendam karena menyembunyikan fakta soal Elang selama ini? Kalau dua opsi tersebut benar, maka Brian pantas mendapatkan julukan pria jahanam. Sampah!

"Kenapa?" Suara Adista yang baru saja memasuki restoran tempat mereka janjian membuyarkan lamunannya.

Sheila mendongak dan mendapati  sahabatnya sudah duduk di depannya.

"Anak-anak kamu nggak ikut?" Tanya Sheila ketika mendapati Adista hanya sendiri.

"Nggak. Desta kan lagi sekolah. Kalau Alana biasa lengket sama papanya. Mana peduli dia aku kemana-mana kalau udah nempel Adenta."

"Elang masih sekolah?"

"Iya, bentar lagi juga pulang. Sekalian jemput, makanya aku ajak kamu ketemuan."

"Ada masalah? Kok kayanya kamu nggak semangat gitu?"

Sheila menggeleng lantas menghela nafas berat.

"Brian menghilang," kata Sheila lemah.

"Kok bisa?"

"Ya bisa. Dia kan punya kaki, bisa jalan juga."

"Bukan gitu oneng! Maksudnya kenapa bisa tiba-tiba menghilang? Dia nggak ngasih kabar kamu?"

Sheila kembali menggeleng lemah. Pikiran buruknya kembali bercokol di otaknya.

"Mungkin Brian pada akhirnya sadar dia nggak cinta sama aku kali ya Dis? Atau dia sengaja deketin aku buat balas dendam karena nyembunyiin Elang  selama bertahun-tahun?" Sheila mengutarakan pikiran buruknya.

Adista menghela nafas. Sheila memang sudah menceritakan garis besar masalah hidupnya pada Adista. Sebagai sahabat, ia hanya mampu menjadi pendengar yang baik. Karena ia tidak yakin bisa memberi solusi apapun terhadap masalah yang dihadapi oleh Sheila.

Adista meraih tangan Sheila dan menggenggamnya.

"Jangan overthinking atau negatif thinking dulu. Siapa tahu dia lagi ada kerjaan yang bener-bener urgen, makanya nggak sempat hubungi kamu."

"Entahlah Dis."

"Kamu memangnya nggak tahu nama dan alamat perusahaannya?"

Sheila menggeleng lagi. Adista pun tak habis pikir, bagaimana bisa Sheila yang notabennya istri Brian tapi tidak tahu apapun soal Brian.

"Nanti deh, aku tanya sama Adenta. Siapa tahu dia tahu. Tapi jangan berharap banyak karena Adenta sudah lama nggak terlalu berhubungan sama Brian semenjak Brian keluar dari rumah orang tuanya."

Bahkan Sheila tidak tahu menahu apa selama ini sebelum mereka menikah Brian tinggal dengan orang tuanya atau tidak. Semua hal tentang Brian, Sheila tidak tahu.

"Thanks ya Dis."

Adista melihat raut wajah sahabatnya yang keruh bak air kolam yang belum dikuras satu tahun. Melihat raut wajah Sheila yang sedemikian rupa, timbul tanya dalam pikiran Adista.

Brian dan Sheila ( Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang