13. Sebuah Kesalahan

7K 363 16
                                    

Hari sabtu, tepat kepulang Martin mendarat di kota kelahirannya. Sekolah Icha libur di hari sabtu dan minggu, kini ia dan keluarga sedang menuju ke bandara.

"Lo tinggal di rumah lagi?" tanya Icha kepada Melisha dengan lirikkan mata tajam.

Melisha langsung mengangguk dan tersenyum ramah. "Iya, di suruh Bunda."

Ibunya yang merasa terpanggil itu langsung menengok ke belakang.

"Bunda yang minta, Cha. Kamu keberatan?"

Icha melirik Ibunya sekilas, ia menjawab seraya menatap ke arah luar kaca mobil.

"Enggak, lagipula Icha gak ngurusin anak emas Bunda itu. Mau dia tinggal di kolong jembatan juga gak peduli," ujar wanita itu tanpa sadar menyakiti hati Ibu dan Adiknya sendiri.

Ayah Icha mendengar apa yang dikatakan anaknya barusan, namun pria itu memilih bungkam. Ia harus fokus, pria itu tidak ingin konsentrasi mengendarai mobilnya hilang.

"Itu adik kamu, Cha! Kaya gini caranya kamu mendidik adik sendiri?" tanya Ibunya sebisa mungkin mereda emosinya.

Icha langsung menatap Ibunya sekilas, lalu beralih menatap Melisha yang berada di samping kirinya.

"Melisha itu gak perlu di didik, Bunda. Satu aja yang perlu dia pelajari, cara supaya enggak gatel sama suami Kakaknya sendiri!"

Icha langsung tersenyum miring, saat Melisha menatapnya tertegun dengan ucapan dirinya barusan.

"Aku gak pernah gatel sama kak Jhovan. Cemburu boleh, tapi jangan fitnah!" tangkas Melisha tak terima.

Icha tertawa seolah meremehkan, tawanya langsung berhenti saat Ibu cantiknya itu menatap sengit ke arah dirinya.

"Berisik, Icha! Adik kamu gak mungkin gatel sama Jhovan, jangan ngarang cerita!" bentak Ibunya langsung berbalik menatap ke depan.

"Bela aja terus. Bunda aja yang gak tau kelakuan dia di sekolah itu kaya gimana," lirih Icha menatap sendu ke arah Ibunya.

Icha tersenyum miris, ia pun langsung berbisik sadis ke Melisha. "Munafik lo!"

Bulu kuduk Melisha langsung berdiri, Icha memang sangat kejam jika berhadap dengan Melisha.

Bandara.

"Ayo turun?" ajak Ayahnya kepada dua putrinya itu.

Icha memilih menggelengkan kepalanya. "Enggak, Icha nunggu di sini aja. Kalian aja yang ke sana, jangan lama-lama."

Mereka mengangguk setuju, setelahnya langsung bergegas pergi menjemput Martin.

Icha menghela napas kasar. "Akhirnya gue bisa napas juga," lirihnya.

Dret! Dret! Dret!

Getaran ponselnya, membuat Icha mau tak mau harus membuka tas kecil miliknya itu.

"Assalamuallaikum ... gue sibuk!" Icha menjawab telepon itu dengan nada tak sopan.

Tut!

Wanita itu langsung mematikan sambungan telepon tersebut.

Baru saja Icha ingin menaruh ponsel itu ke dalam tasnya, ponsel tersebut kembali berbunyi lagi dengan si penelepon yang sama.

Di sisi lain Jhovan sedang geram terhadap istrinya sendiri, lelaki itu terlihat mondar-mandir di dalam rumahnya sendiri.

Sekali lagi, ini percobaan terakhir lelaki itu menelepon Icha. Menatap layar ponsel penuh harapan, Jhovan terus saja menunggu Icha menjawab telepon tersebut.

Black Marriage [SELESAI] ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang