Rembulan datang dikala sinar matahari mulai redup, kini tak ada lagi cahaya kehidupan muncul di hubungan antara Tari dan Fajar. Kedua remaja itu masing-masing memilih untuk memutuskan kedekatan yang tak pernah menemukan titik akhir di sepanjang perjalanannya, tidak bisa dipungkir hubungan beda Agama yang belum mereka ciptakan sudah mampu menghancurkan secara perlahan.
Semuanya telah usai, perasaan yang mereka miliki kini hanya bisa ditepis secara perlahan. Restu dari Ibu Tari adalah salah satu bentuk kedua remaja itu tidak bisa bersatu, mereka sama-sama makhluk bumi, kepercayaan yang tak bisa mereka pungkiri, hingga semuanya harus di akhiri dengan sepenuhi hati.
Kini ... kedua remaja itu sedang sama-sama melepaskan, melepaskan genggaman yang belum pernah tergenggam, melepaskan perasaan yang belum pernah termiliki, dan terakhir ... memilih menepi setelah tersakiti. Nihilnya, mereka hampir saja tergelincir dengan takdir yang telah terukir oleh Sang Maha Kuasa.
Akhirnya, setelah mengantarkan Tari pulang lelaki itu kini sudah sampai di pekarangan rumah mewah milik Ayahnya. Fajar turun dari mobil, kakinya ia langkahkan ke dalam rumah beberapa kali ia mengabaikan pembantu yang sempat menyapanya setiap saat.
Fajar menatap lesu ke arah Moza dan Ayahnya lelaki itu terlihat seolah tak ada gairah sama sekali, tidak heran jika hal itu mendapatkan tatapan tak mengenakan dari sang Ayah dan sepupunya-Moza.
"Woy! Lo kenapa?" panggil Moza seraya menghitung uang berwarna merah.
Fajar menghampiri Ayahnya, langsung duduk di samping pria yang sudah berlanjut usia tersebut.
"Ayah, ngapain ngasih uang segitu banyaknya ke dia?" tanya Fajar sedikit tak suka, melirik Moza dengan lirikan tajam.
Moza tersenyum jahil. "Ini, 'kan udah jadi jatah gue. Iya, 'kan, Om?"
Dengan pintarnya Ayah Fajar mengangguk setuju, bukan tanpa alasan pria itu memberikan uang hampir dua juta perbulan ke Moza, sebab ... gadis itu sudah ia anggap sebagai anak perempuan satu-satunya.
"Tapi gak sebanyak itu juga, Yah. Dia itu masih punya orang tua lengkap!" cetus Fajar.
Moza meghela napas kasar, ini sudah kesekian kalinya gadis itu menjelaskan kenapa ia menerima uang dari bokapnya itu. "Fajar, sepupu gue yang baik hati. Lo tau, 'kan kalo harga make up itu gak bisa dinego jadi dua ribu tiga? Make up itu mahal! Kalo gue gak cantik, gak bakalan ada cowok yang ngelirik. Secara gak langsung, kebanyakan cowok itu pada mandang fisik."
"Anggap aja Moza ini adik kamu. Toh, Ayah juga gak keberatan kalau Moza diadopsi jadi bagian keluarga kita." Fajar dan Moza langsung melototkan matanya kaget.
Moza dengan cepat memasukkan uang tersebut ke tas selempangnya itu, gadis itu tiba-tiba saja bergedik ngeri. "Enggak, deh, Om. Moza gak mau punya saudara tiri modelan kaya anak Om itu."
Fajar menarik kasar tangan sepupunya itu, membawa Moza ke tempat kolam renang. Hal itu membuat Ayah Fajar menggelengkan kepalanya bingung.
"Ngapain si lo nerima uang dari bokap gue?!" tanya Fajar, langsung menghempaskan tangan gadis itu dengan sangat kasar.
Moza berdecih pelan. "Apa masalahnya sama lo?"
Ck. Fajar langsung memalingkan wajahnya semakin tak paham dengan perlakuan sepupunya itu, pikirannya benar-benar tak waras.
"Lo ... kaya tante-tante girang yang kekurangan uang dari om-om!" decih Fajar mengamati kolam renang yang nampaknya air tersebut dingin di malam hari ini.
Moza terdiam sejenak, lelaki itu mengamati gestur tubuh gadis di hadapannya saat ini. Matanya terus saja meneliti tubuh bak model itu, beberapa kali Fajar berdecih tak suka dalam hatinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Black Marriage [SELESAI] ✓
Fiksi Remaja"Hamil?" tanya Jhovan langsung diangguki Icha. "Lo itu gak mungkin hamil!" bentak Jhovan melempar test pack itu ke sembarang arah. Bunyi test pack yang jatuh membuat Icha mengalihkan pandangannya, ia menatap alat itu dengan tatapan miris. "Gue hami...