17. Hanya Sebatas Ingin

4.9K 300 7
                                    

-Komen di setiap paragraf-

***

Aktivitas sekolah kini mulai kembali seperti semula lagi, tidak ada yang namanya libur. Icha sedang menemani Dewa sarapan pagi di kantin, lelaki itu juga berkata ada yang ingin ia sampaikan kepada Icha.

"Jujur sama gue, Cha. Lo ada hubungan apa sama si Jhovan?" tanya Dewa.

Icha langsung menampilkan ekspresi tak tenang, wanita itu dengan gerakkan cepat meneguk teh manis hangat dengan satu hentakan, namun tidak sampai habis satu gelas.

"Hubungan teman, suka gak jelas lo kalo nanya!" dengus Icha, padahal di dalam hatinya wanita itu tidak tenang sama sekali.

"Gue gak sengaja ngeliat lo sama Jhovan masuk ke dalam rumah yang sama," ujar Dewa seraya memakan nasi goreng.

Icha menjadi pusat pasi, ia tidak mungkin jujur di waktu yang tidak tepat ini. "Ah, lo salah liat kali, Wa."

"Gak mungkin gue salah. Adik lo bilang sama gue, kalo lo sama Jhovan udah nikah. Bener, Cha?" tanya Dewa yang semakin penasaran.

Melisha. Ah, rasanya Icha ingin memusnahkan adik kandungnya sendiri, benar-benar pembawa bencana.

"Sialan lo, Mel!" batin Icha tak terima.

"Cewek kaya dia lo percaya, gak guna!" desis Icha menyandarkan punggungny ke dinding yang terasa dingin.

Dewa memakan santai nasi gorengnya, mau Icha sudah menikah atau belum yang jelas itu bukan urusan dia.

"Gue gak butuh kejujuran lo, itu juga gak berpengaruh sama hidup gue. Santai aja," balas Dewa.

Ini yang Icha suka dari Dewa, sifatnya persis seperti dirinya, sama-sama tidak peduli dengan keadaan sekitar.

"Kalo gue beneran udah nikah, lo gak marah?"

Dewa terkekeh geli, tak salah dengan pertanyaan yang dilontarkan oleh Icha barusan? Rasanya Dewa ingin membanting Icha ke tengah-tengah lapangan saja.

"Icha, Icha. Ngapain gue marah? Mau lo nikah, bunting sekalian, jadi janda atau yang lainnya gue gak peduli, terkecuali lo mati." Dewa berkata sangat sadis di hadapan Icha.

"Kalo gue mati, lo baru peduli?" Dewa langsung mengangguk setuju.

Icha tersenyum ngilu, sorot matanya berubaha menjadi sendu.

"Wa, kalo gue jadi janda. Kira-kira lo mau gak nikah sama gue?" tanya Icha mencoba berusaha untuk kedua kalinya.

Dewa menggeleng kuat. "Gue niatnya mau ta'aruf sama adik lo, gimana? Rencana gue baik, 'kan?"

Icha tersenyum kecut, sekarang ia baru menyadari hal yang seharusnya ia hindari dari dulu.

"Baik banget, Wa. Sayangnya, pernyataan lo barusan buat hati gue jauh dari kata 'baik-baik aja'," lirih Icha dalam hati.

Icha mengangguk setuju. "Lo beneran suka sama adik gue?"

"Iya, dia baik banget. Calon menantu idaman Ibu gue, terlepas dari masa lalunya. Insya Allah gue nerima dia apa adanya," ujar Dewa seperti orang yang sudah taubat dari julukkan playboy-nya.

Icha tersenyum getir, ternyata benar kata orang, bahwa patah hati yang paling dalam itu saat mendengarkan cerita orang yang kita suka sedang menyukai orang lain.

Black Marriage [SELESAI] ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang