14. Memilih Bungkam

6.1K 323 15
                                    

Entah air mata yang tumpah untuk ke berapa kalinya, Icha terisak kencang, karena ulah suaminya sendiri. Ia terus saja flashback sendiri dengan kejadian tadi sore, kini wanita itu sedang meraung di dalam kamar mandi.

Rasa sakitnya berubah menjadi rasa kecewa, Icha gagal menjadi seorang kakak yang baik dan ia juga gagal menjada suaminya sendiri.

Hatinya teiris perih, napasnya seolah tersedak di tengah jalan. Icha melihat dengan mata kepalanya sendiri, Jhovan dan Melisha melakukan hal yang tidak wajar.

Bagaimana rasanya? Sakit. Itu yang sedang Icha rasakan saat ini, dirinya tidak menyalahkan siapa-siapa. Ia ikhlas, benar-benar ikhlas.

"Arghh!!" Icha menjerit sekuat tenaga.

Tak henti-hentinya air mata sialan itu masih saja turun mengalir deras di pipi Icha, tubuhnya bergetar hebat, hatinya seperti tertusuk seribu duri.

Melisha sudah pulang sedari tadi, sebelumnya Icha sempat menyarankan adiknya itu meminum rutin pil pencegah hamil.

"Sakit, ya Allah." Icha berlirih, perih di hatinya benar-benar membuat wanita itu seperti lumpuh perasaan.

"Bunda, Ayah! Icha gak pernah bermimpi menikah muda seburuk ini! Hati Icha sakit, mana yang kalian bilang ini demi kebaikkan Icha? Mana?!" teriak Icha memukuli hampir seluruh badannya sendiri dengan pukulan ganas, matanya sudah sangat sembab.

Wanita itu berdiri menatap dirinya di pantulan cermin, ia tersenyum miris saat mendengar kembali perkataan Ayahnya dulu.

"Titip anak saya, ya, Nak. Jangan pernah kamu menyakitinya, dia sangat berharga di keluarga kami. Jaga anak saya dengan baik," Ayah Icha berkata kepada Jhovan dengan sangat tulus.

"Berharga? Kalau Icha berharga, kenapa kalian kasih anak berharga kalian ini ke orang yang salah?!" marah Icha dengan napas mengebu-ngebu, rasa sakit, kecewa, emosi langsung bercampur menjadi satu.

Bugh!

Alhasil wanita itu memukul keras kaca tersebut dengan kepalan tangannya sendiri, Icha kacau! Sangat kacau sekali, seolah-olah pikiran jernihnya sudah hilang.

Ia berjalan gontai ke luar kamar mandi, hatinya kembali sakit saat melihat Jhovan sedang tertidur pulas di atas kasur sialan tersebut.

Lima belas menit, kini Icha sudah rapi memakai baju tidur. Meskipun batinnya sedang tertekan, kewajiban seorang istri harus ia jalankan.

Setelah sampai ruang tamu, Icha beberapa kali menghela napas tak tenang.

"Sebanyak ini lo minum, Jho." Icha membereskan bekas minum yang memabukkan suaminya itu.

Ruang tamu sudah beres, ia langsung bergegas pergi ke atas lagi.

Wanita itu berjalan ke meja riasnya, di sana ada paper bag isinya peralatan make up yang sangat lengkap khusus dibelikan oleh kakaknya.

Icha menatap nanar ke dalam isi paper bag tersebut, ia menyesal karena telah membanting keras barang tersebut, alhasil tidak ada barang yang tersisa utuh di sana.

"Nyesel juga gue banting ini paper bag, kalo beli lagi ... harganya terlalu astagfirullah. Sayang duit, mending dipake buat ngenyangin perut. Kira-kira kalo minta dibeliin bang Martin lagi, dia mau gak, ya?" Icha bermonolog, tiba-tiba rasa penyesalannya datang tanpa diminta. 

Wanita itu langsung berjalan dan memilih tidur di samping Jhovan, sesekali ia menatap wajah lesu suaminya itu. Icha meringis melihatnya, luka sore tadi kembali terbuka lagi membuat dirinya tak kuat lagi menerima itu semua.

Black Marriage [SELESAI] ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang