Ada orang Bandung di sini? Mahir bahasa Sunda? Sok atuh ulah isin-isin komen, hehe.
⚠Tandai kalau ada typo, kadang jari sama keyboard-ku susah diajak kerja sama.
-
-
-Kota Bandung.
Selama mencari tempat tinggal. Keluarga Icha untuk sementara menginap di rumah Kakek-Nenek dari sang Ayah. Orang tua Ayahnya cukup terpandang, sebab keduanya itu guru ngaji di salah satu pasantren yang ada di Bandung.
Suasana sejuk kota Bandung membuat hati Icha meredup, entah apa yang sedang ia pikirkan. Namun, baru saja beberapa jam meninggalkan Jakarta, ia merasa rindu sudah melanda hatinya.
"Icha, makan dulu, Nak." Wanita yang sering dipanggil Umi itu mendekati Icha.
Icha menoleh sebentar, Lalu tersenyum hangat. "Iya, Umi."
"Umi seneng kamu mau tinggal di sini. Kalau kamu udah siap dan merasa mampu, pakai kerudungnya dipanjangkan lagi, ya, Nak."
Entah untuk pertemuan keberapa, Umi-nya selalu saja memerintahkan hal yang sama. Icha yang mendengar itu hanya mampu mengangguk paham.
Ruang Tamu.
"Duh, Gusti. Icha ka dieu, Geulis. (Ke sini, Cantik)." Pria yang kerap kali disebut Abi itu melambaikan tangannya ke arah Icha.
"Abi," sapa Icha tersenyum lebar.
"Calik. Emam hela sararea, (Duduk. Makan dulu barengan)," kata Abi-nya.
Icha mengangguk lirih dan langsung duduk di bawah karpet. Itu lah tradisi keluarga Ayahnya, duduk di bawah dengan beralaskan karpet dan makan harus menggunakan tangan langsung.
Beberapa menit kemudian, akhirnya Icha dan keluarga sudah selesai makan. Mereka pun beranjak dari duduknya dan pergi mencuci tangan. Sedangkan Icha membereskan piring bekas makan tadi bersama Nenek dan Ibunya.
"Nak, katanya kamu sudah menikah. Umi baru tau bulan lalu, itu benar?" Umi-nya bertanya setelah kepergian Ibunya dari dapur.
Icha mencuci tangannya di wastapel disusul oleh wanita paruh baya itu. Ia pun beralih menatap Neneknya penuh harap. Icha sangat berharap Umi-nya itu bisa mengerti keadaan hatinya saat ini.
"Umi, apa menikah di usia muda itu salah?" tanya Icha memasang wajah serius.
Celengan kepala dari sang Nenek membuat hati Icha terasa lega melihatnya. "Gak ada yang salah, Nak. Tapi Umi sedikit gak setuju dengan pernikahanmu ini," ungkapnya.
Icha mengerutkan keningnya heran. Ia pun terdiam sejenak, lalu memberanikan membuka suara. "Kenapa, Umi?"
"Nak, menikah itu bukan perihal Ijab Qabul dan kalian langsung sah. Bukan gitu. Di era milenial ini, masa depan lebih terpandang dibandingkan menikah, apalagi di usia muda."
Neneknya menatap Icha dengan tatapan sendu. Ia sangat kasihan terhadap cucu kesayangannya itu, jelas sekali dirinya melihat ada raut kecewa di dalam wajahnya.
"Pernikahan dini di Indonesia hampir meningkat, Nak. Banyak warga sini juga yang baru berumur lima belas tahun sudah menikah, tapi, Nak ... buta ilmu itu harus dihindari," sambungnya seraya mengusap lembut rambut Icha yang tertutupi hijab.
Kalimat terakhir membuat Icha semakin dibuat bingung. Buta ilmu? Ah, rasanya Icha tak bisa berpikir saat ini.
"Maksudnya, buta ilmu itu tentang pandangan kita. Umi paham kenapa tradisi pernikahan dini selalu saja terjadi, sebab menikah muda itu sudah ada dari zaman Rasulullah. Bisa juga dari faktor sosial budaya masing-masing."
KAMU SEDANG MEMBACA
Black Marriage [SELESAI] ✓
Teen Fiction"Hamil?" tanya Jhovan langsung diangguki Icha. "Lo itu gak mungkin hamil!" bentak Jhovan melempar test pack itu ke sembarang arah. Bunyi test pack yang jatuh membuat Icha mengalihkan pandangannya, ia menatap alat itu dengan tatapan miris. "Gue hami...