Akhirnya setelah Icha memutuskan bolos dipelajaran pertama, namun dipelajaran kedua dan ketiga ia mengikuti kegiatan KBM tersebut dengan baik.
Saat ini Icha sedang berada di ruang guru sesuai janjinya dengan Pak Arya, sedangkan para sahabatnya sedang mengisi perut kosongnya di kantin.
"Ikut ke meja saya," perintah Pak Arya dengan menenteng buku PR kelas XII IPA 1.
Icha mengangguk paham, lalu dirinya mengikuti langkah kaki Pak Arya. Beberapa kali ia menghela napas seolah tak tenang, bahkan gadis itu nampak gugup setengah mati.
"Silakan duduk," kata Pak Arya dibalas anggukan kepala oleh Icha.
"Kamu sudah makan?" tanya Pak Arya terkesan seperti perhatian.
Icha menggelengkan kepalanya. "Belum, Pak."
"Baik, jangan salahkan saya jika kamu sakit nanti. Jadi, kamu mau membicarakan apa?"
Tiba-tiba saja tangan Icha dingin, mukanya langsung pucat pasi. Ia benar-benar gugup saat ini, bahkan wanita itu tak berani menjawab pertanyaan Pak Arya yang dikenal guru killer di sekolahnya.
"Bicara sekarang, atau saya tinggal?!" tegas Pak Arya.
"Say-ya, menolak tawaran Bapak ... untuk mewakilkan sekolah dalam Olimpiade Matem-matika, Pak." Icha dengan wajah menunduk akhirnya berani mengatakan yang sebenarnya.
Pak Arya tidak terkejut sama sekali, bahkan ia hanya mengeluarkan satu kalimat saja.
"Kenapa?" tanyanya.
"Saya tid-dak yakin, Pak."
Pak Arya membenarkan posisi duduknya, lalu menatap wajah Icha serius.
"Icha, dengarkan saya. Lihat wajah saya. Mau sampai kapan kamu seperti ini? Kamu selalu menolak dengan alasan yang sama, 'tidak yakin' apa yang ada dipikiran kamu? Apakah Olimpiade menurut kamu merugikan?" tanya Pak Arya tak habis pikir dengan jalan pikir anak muridnya itu.
"Bukan seperti itu, Pak. Hm ... saya tidak yakin dengan kemampuan saya sendiri, mohon dimengerti."
"Kamu itu pintar! Kenapa alasan kamu tidak masuk akal? Bahkan, dari kelas X kamu sudah ditunjuk untuk mengikuti Olimpiade tapi kamu menolak terus, di kelas XI kamu juga kembali menolak. Kali ini, siapa lagi yang mau kamu tunjuk untuk mewakili sekolah kita?" tanya Pak Arya sangat prustasi.
"Adik kandung, say-ya, Pak. Melisha."
Pak Arya mengerutkan keningnya heran. "Kenapa tidak kamu saja?"
"Mendapatkan nilai bagus dan peringkat tertinggi di kelas, itu sudah lebih dari cukup bagi saya, Pak. Mau Bapak, ataupun guru lain mengakui bahwa saya pintar, tapi beda halnya dengan orang tua saya." Icha menjelaskan dengan mata yang sudah berkaca-kaca.
"Apa ada orang tua yang tidak bangga anaknya pintar dan memiliki prestasi yang tinggi?"
"Ada, Pak. Orang tua saya," lirih Icha.
Satu tetes air mata lolos di pipi Icha, wanita itu buru-buru menyeka air mata itu dengan tangannya sendiri.
"Tidak ada yang menyuruh kamu berdiri, duduk kembali!" Pak Arya berkata tegas di saat ia melihat Icha bangkit dari posisi duduknya.
"Saya izin ke kantin, Pak. Perut saya sudah keroncongan dari tadi," ujar Icha membela diri.
"Saya bilang duduk!" tegas Pak Arya.
Icha menggeleng kuat. "Tidak ada yang bisa dibanggakan dari saya, Pak. Permisi," lirihnya.
Wanita itu langsung tersenyum, seolah luka yang ia rasa barusan sembuh dengan sekejap. Icha pergi dari ruangan itu, langsung menuju kamar mandi untuk membasuh wajahnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Black Marriage [SELESAI] ✓
Ficção Adolescente"Hamil?" tanya Jhovan langsung diangguki Icha. "Lo itu gak mungkin hamil!" bentak Jhovan melempar test pack itu ke sembarang arah. Bunyi test pack yang jatuh membuat Icha mengalihkan pandangannya, ia menatap alat itu dengan tatapan miris. "Gue hami...