Di bawah teriknya matahari Haechan menunggu mobil yang di gunakan sang Ayah untuk menjemputnya. Tiga menit lalu ia mendapat pesan dari sang Ayah jika mereka akan segera menjemputnya—berangkat dari rumah sakit menuju tempat pijakan Haechan saat ini.
**
Mark di tinggalkan.
Ia sudah berjanji memberi hari libur Haechan untuk pergi ke taman bermain, tapi siapa yang sangka rasanya seperti di tinggalkan ribuan tahun? Mark jadi lesu!
"Seperti mau mati." Jeno berkomentar, ia mendapat telpon dari Mark yang menyuruhnya pergi ke kantin dan menemani pria Lee itu. "Dimana si hitam?" Jeno berujar mencari sosok manis yang selalu berdiri di samping Mark seperti butler pada umumnya. Tapi hari ini ia tidak menemukan manusia itu.
"Pergi ke taman bermain bersama orang tuanya." Jeno ingin mengejek tapi ia mengurungkan niatnya begitu mendengar helaan napas panjang dan berat dari si Lee.
"Kalau begitu, kita pergi ke pantai!" Ajak Jeno, hanya untuk bersenang-senang. "Sebelum matahari terbit kita pulang." Usulnya, seolah sudah mendapat persetujuan dari yang bersangkutan.
"Bersama mu?! Lebih baik aku pergi bersama Haechan!"
"Jika mau memilih, aku juga tidak mau pergi bersama mu! Bersama Jaemin lebih bagus daripada bersama mu!" Ia mencoba menghibur Mark, tapi si sialan itu malah menyulut emosinya! "Kau tidak bisa di pegang sama sekali!"
"Yak! Kau berencana memperkosa Jaemin?"
"Kalau tidak bisa di dapatkan dengan cara baik-baik, akan ku lakukan." Balas Jeno santai. "Ide bagus, kan? Jika sudah begitu Jaemin akan meminta ku bertanggungjawab atas kelakukan kurangajar ku lalu kami menikah dan aku bisa mencumbunya setiap hari! Luar biasa."
Mark menatap miris Jeno, segitu gilanya dia sama Jaemin?
"Jadi pergi atau tidak? Jika tidak aku akan pergi bersama Jaemin dan melakukan rencana itu."
"Bocah gila!" Mark melempar potongan sayur yang mengenai kemeja Jeno. "Kita pergi! Aku tidak mau ikut terseret dalam masalah seperti itu karena ulah mu!"
Jeno mencibir.
***
Pukul tiga sore, sinar matahari mulai meredup dan semilir angin dingin menerpa tubuhnya. Haechan masih setia berdiri di tempatnya menunggu jemputan sang Ayah yang tidak kunjung datang, semakin larut mata hari semakin menghilang dan udara juga semakin dingin. Pukul sembilan malam tapi kedua orang tuanya tidak juga menjemput.
"Haechan." Suara rentan dari pelayan rumah Mark menghampirinya, wajah tuanya terlihat tidak bersahabat dan kerutan di wajahnya bertambah saat menatapnya. "Kedua orang tuamu kecelakaan."
Perasaan aneh. Jantungnya berdetak kencang, sangat kencang sampai membuat Haechan sulit bernapas dan kakinya tidak bisa bergerak sedikit pun.
Seperti perasaan suka, jantungnya berdetak seperti ini dan rasanya sesak. Tapi ini jauh lebih aneh, tidak seperti yang kemarin.
"Nak, kau baik?" Bibi Lim yang menjadi kepala pelayan itu menyentuh pundak Haechan, mencoba memberi kekuatan. "Haechan kau baik?" Masih tidak ada sahutan dan ekspresinya sama seperti biasa, datang dan dingin, tidak menunjukan kesedihan atau kepanikan dalam matanya. Bocah ini jauh dari kata baik.
***
Semilir angin pantai menemani Mark dan Jeno yang sedang minum, tidak ada perbincangan. Mereka hanya menikmati hembusan angin malam yang membuat tubuhnya menggigil.
Tapi dering ponsel menarik perhatian keduanya. Mark menarik ponselnya yang tergeletak, menggeser icon hijau lalu memposisikan benda pipih itu di samping telinganya. "Ya?" Mata Mark melotot mendengarnya, ia meletakan gelasnya dengan kasar dan beranjak dari pekarangan rumah membuat Jeno keheranan.
"Ada apa?" Tanyanya ikut panik.
"Kita harus pulang!" Ujar Mark setelah memasukan ponsel kedalam sakunya dan membiarkan botol dan gelas bekas mereka minum di halaman rumah.
"Ada apa? Apa yang terjadi?" Jeno menarik lengan Mark kasar, menatap pria itu meminta penjelasan. "Tenanglah dan katakan apa masalahnya?!"
"Kedua orang tua Haechan kecelakaan dan kau memintaku tenang?!" Mark menghempas tangan Jeno kasar, ia mencari kunci mobil yang entah ada dimana. "Argh! Sial!!" Gerutunya, tidak mendapat apa yang Mark cari.
"Ayo." Jeno menarik lagi tangan Mark. "Aku akan mengantarmu."
***
Pemakaman, ini yang di sebut pemakaman dan Haechan berdiri di sana seperti patung. Tidak menyambut tamu dengan baik bahkan saat Ayah dari Mark memberi penghormatan terakhir pada kedua orang tuanya.
Haechan tidak mengerti perasaannya! Kenapa jantungnya terus berdetak menyakitkan dan membuat napasnya semakin sesak di setiap detik. Kepalanya terasa berat dan matanya panas bukan main. Telapak tangannya dingin dan ia tidak bisa bergerak.
Berkali-kali Haechan melirik figuran orang tuanya yang di beri kalung bunga, tersenyum lebar seperti yang Jaemin lakukan tapi itu membuat perasaannya semakin aneh! Senyum kedua orang tuanya terlihat jelek! Sangat jelek!
"Haechan.." suara Mark menarik perhatian Haechan dari figuran. Napas pria itu naik turun dan pakaiannya tidak Serapi biasanya. "Kau baik?" Kakinya melangkah pelan, menghampiri Haechan lalu memeluknya erat. Kesedihan terlihat jelas di mata Haechan, tapi si manis tidak mengeluarkan air matanya sama sekali.
"Mereka tidak menjemput ku." Haechan berbisik lirih. Pelukan Mark membuatnya merasa gemuruh dalam dirinya, sesuatu yang besar dan akan meledak. Apa ini? "Mereka tidak datang."
"Menangislah." Mark memperkuat pelukannya, menyalurkan rasa hangat pada tubuh dingin Haechan. "Menangislah." Ujarnya lagi, mengusap punggung Haechan.
Ayahnya tidak memperbolehkan Haechan menangis, pria tua itu akan menghajarnya jika Haechan menangis. Tapi Mark menyuruhnya menangis?
"Menangislah tidak apa-apa, aku ada di sini untuk mu." Kalimat Mark yang begitu menarik keluar air mata Haechan, semakin deras saat Mark mengusap punggungnya dengan hangat.
Suara isakan tangis Haechan menjadi sorotan tamu yang datang—semua pelayan dari kediaman Mark. Suaranya begitu keras dan nyaring, begitu memilukan seperti alunan lagu sedih. Air mata Haechan keluar deras, membasahi kemeja yang Mark gunakan. Pemandangan yang tidak pernah terlihat sama sekali.
***
Selama dua jam Haechan menangis, mungkin karena ucapan Mark atau Haechan memang mengeluarkan seluruh perasannya?
Dan berakhir tidur karena kelelahan. Matanya yang sembab dan hidungnya yang merah, mengundang untuk di cium. Mark menemani Haechan tidur di kamarnya selama satu jam lebih, Haechan memerlukan teman dan Ayahnya mengatakan hal yang sama. Ayahnya bahkan mengijinkannya menginap di sini. Ya, Ayahnya selalu tau apa yang ia butuhkan dan inginkan, pria itu selalu memenuhi semuanya.
Lima menit berlalu, Haechan membuka mata sembabnya lalu duduk saat melihat Mark di sampingnya. "Lebih baik?"
"Mereka tidak menjemput ku." Haechan kembali mengeluarkan air matanya. "Lalu meninggalkan ku."
"Kau masih memiliki ku." Ujar Mark, menarik Haechan kembali dalam pelukannya lalu mengusap punggungnya. "Menangislah jika kau masih menginginkannya."
Ujung baju Mark di tarik. Perasaan aneh itu datang lagi dan pelukan Mark berhasil membuatnya kembali mengantuk. Sangat nyaman. Haechan memejamkan matanya, tangannya merambat kebelakang tubuh Mark—membalas pelukan pria itu.
Hangat. Mark merasakan tangan dingin Haechan memeluknya erat dan hangat. Pemuda itu tidak lagi mengeluarkan isakan, napasnya begitu teratur membuat Mark yakin jika pemuda itu kembali terlelap. "Aku di sini untuk mu."
"Terimakasih, Hyung." Haechan bergumam, menyamankan diri dalam pelukan Mark.
TBC
Hehe, keknya feel sedihnya kurang. Tapi aku gak tau gimana buat yang dramatis. Maaf kalo banyak yang salah dan typo..
And, thanks for your support...<Smile>
KAMU SEDANG MEMBACA
Weirdos [MARKHYUK]
FanfictionSikap Haechan yang menurut Mark aneh.. PROSES PENERBITAN🤭