Kau janjikan aku bahagia.
Namun bahagia tak sesakit ini.***
Sooyoung membuka mobil taksi yang ia naiki. Menatap sendu pada sebuah gedung apartemen yang terpampang nyata di hadapannya. Dengan asap putih yang terlihat di tiap hembusan nafas serta hidungnya yang memerah, ia menerjang dinginnya salju di musim dingin dengan hanya mengenakan setelan jas dan rok formal.
Melenggang memasuki gedung apartemen yang cukup terkenal di daerah gangnam. Menekan tombol lantai lima seakan ia cukup mengenal baik tempat itu. Sooyoung menghela nafas kasar kala pintu lift yang ia harapkan untuk terbuka tak kunjung membuka. Membuatnya putus asa dan memilih berjalan menuju pintu tangga darurat.
Tiap anak tangga gadis itu naiki dengan perasaannya yang campur aduk. Berharap jika apa yang ia duga tak pernah menjadi nyata. Hanya sebuah kecurigaan yang berlebihan. Ya. Itu yang gadis itu harapkan. Namun harapan itu sirna kala ia menghentikan langkahnya dan mendongak.
Dihadapannya, dengan hanya menyisakan beberapa anak tangga. Indera penglihatannya dipaksa untuk menyaksikan apa yang tak ingin ia lihat. Adalah Sehun, pria yang baru menikahinya selama setahun belakangan ini. Dengan begitu lembutnya, menyentuh, membelai, dan mencumbu wanita lain tepat di hadapannya.
Keduanya terlihat begitu terlena dengan hasrat mereka hingga tak menyadari ada saksi lain yang memandang dengan perasaannya yang tidak dapat digambarkan. Sedih, marah, kecewa, dan merasa bodoh. Adalah beragam emosi yang kini bergejolak dalam diri Sooyoung.
Di usianya yang menginjak 25 tahun, gadis yang dikenal manja nan rapuh itu di tuntut untuk menjadi kuat dan tidak goyah dalam waktu yang begitu singkat. Kedua tangannya yang mengepal kuat, berbalik dan berjalan menuruni tiap anak tangga dengan isak tangis yang berusaha ia tahan.
Sooyoung terduduk di tepi ranjang dan memandang wajah damai Sehun yang tertidur pulas. Tidak. Kali ini tatapannya tak lagi sama. Ia tak lagi melihat prianya dengan penuh kasih. Yang tersisa hanya kebencian yang begitu mendalam dan terpendam. Namun sayangnya, Sehun tidak cukup peka akan hal itu.
Wanita itu perlahan bangkit. Berjalan menuju jendela dan menyingkap tirainya. Membiarkan sinar mentari di pagi hari menyeruak memasuki ruangan bernuansa putih itu. Membuat Sehun merasa terusik dari tidur nyenyaknya.
"Bisakah kau menutup tirainya kembali? Aku tak bisa tidur."
"Bangunlah. Bukankah kau harus pergi bekerja? Aku akan membuatkan kopi untukmu."
Ujarnya yang kini bergegas meninggalkan ruangan.
-
"Aku sudah membuat janji temu dengan dokter Kim untuk membicarakan perihal program bayi."
Ucap Sehun meletakkan kembali cangkir minumannya dan membaca koran di hadapannya. Sementara Sooyoung hanya berdehem pelan menanggapi. Dering ponsel milik pria itu membuat keduanya saling bertukar pandang.
Sehun meraih ponselnya dan melihat nama pemanggil. Ia terdiam sejenak sebelum memencet tombol berwarna merah kemudian meletakkan kembali benda berbentuk persegi itu.
"Siapa?"
Tanya Sooyoung seraya mengoleskan selai coklat pada roti di tangannya. Sehun tersenyum tipis dan menggeleng pelan.
"Sekertaris Choi."
"Mengapa kau tak menjawabnya?"
"Aku bisa menghubunginya lagi nanti."
"Bagaimana jika itu urusan penting?"
"Bukan hal penting."
"Bagaimana kau bisa begitu yakin?"
Sooyoung meletakkan roti miliknya dan beralih pada sang suami yang menatapnya bingung. Lama keduanya saling bertukar pandang hingga wanita itu tersenyum dan memberikan roti miliknya pada sang suami.
"Bagaimana jika itu telfon penting dan kau tidak menjawabnya lalu berdampak pada proyekmu? Apa kau akan menyalahkan sekertaris Choi lagi? Itu penyalahgunaan wewenang namanya."
"Ah.. Em. Kau benar."
Sahutnya tersenyum canggung hingga tering ponselnya yang kembali berdering membuat pria itu terdiam.
"Angkatlah."
Ujar wanita itu seraya bangkit dan meraih tas miliknya.
"Kau sudah mau pergi?"
"Em. Ada pertemuan penting dengan pihak majalah."
"Biar aku antar."
"Tidak usah. Kau akan terlambat nanti. Aku pergi.".
Sooyoung melayangkan kecupan singkat di bibir sang suami sebelum akhirnya melenggang pergi. Sementara Sehun kembali mengalihkan perhatian pada layar ponselnya. Pria itu menghela nafas pelan seraya memijit keningnya.
-
"Apa yang akan kau lakukan?"
"Apa maksud kakak?"
Sooyoung menyeruput secangkir teh miliknya dan meletakkan kembali ke atas meja.
"Kau akan mengabaikannya lagi? Kau akan memaafkannya lagi?"
"Ini masalahku. Biar aku yang menyelesaikannya."
"Sooyoung-"
"Kak."
Wanita itu beralih menatap pria dihadapannya membuat Chanyeol terdiam.
"Aku bukan Sooyoung yang dulu. Aku tak akan merengek dan meminta bantuan kakak lagi."
"Pada akhirnya kau akan memilih untuk mempertahankannya. Lagi."
"Kita tak pernah tau apa yang akan terjadi selanjutnya. Dan juga.."
Sooyoung menggantung sejenak kalimatnya. Tampak ragu-ragu untuk melanjutkan.
"Gadis kali ini berbeda."
"Apa maksudmu?"
"Wanita yang dulu, ia berusaha sebaik mungkin untuk tak menampakkan diri di hadapanku. Tetapi yang satu ini.."
"Ia memperlihatkan dirinya?"
"Ia sengaja meninggalkan jejak. Untuk memenangkan pertarungan ini."
"Jejak.."
"Aku tak akan melepaskan suamiku untuknya. Itu hanya akan membuatku kalah dan melukai harga diriku. Aku akan menyiksa mereka secara perlahan. Itu adalah hukuman terbaik yang bisa kuberikan."
Dengan menyunggingkan senyumnya dan tatapannya yang tak dapat diartikan, Sooyoung kembali menyeruput minumannya.
~~~
Chapter kali ini pendek dulu ya guys. Lagi nyiapin perang yang sesungguhnya wkwkwk
KAMU SEDANG MEMBACA
Her Man [END]
Fanfiction{FANFICTION} Cinta yang selalu kau gaungkan itu adalah omong kosong paling sampah yang pernah aku dengar.