Day 24: Museum (TG)

45 4 2
                                    

“Ini tiruan lukisan Mona Lisa.”

“Yang asli di mana, otou-san?

“Di Museum Louvre, Prancis.”

Sugoii!

“Lukisan yang indah 'kan?”

Manik hijau Eto kecil berbinar kagum ke lukisan wanita yang ditatapnya. Terbayang olehnya lenggak-lenggok tangan pelukis menoreh kanvas hingga menciptakan karya besar yang dikenal seluruh penduduk dunia. Warna-warna yang dipadukan membentuk figur wanita yang realistis.

Kuzen tersenyum, maniknya sesekali mengawasi sekeliling. Sebagai mantan mafia paling berbahaya, ia ditakuti kelompok-kelompok mafia lainnya. Saking takutnya, mereka berusaha membunuh Kuzen yang telah lepas dari dunia gelap. Karena itu Kuzen tak berhenti waspada.

Supaya keberadaannya tak terdeteksi, Kuzen selalu berpindah kota setiap tahun dan jarang keluar rumah. Ia harap Eto tidak bernasib sama seperti istrinya yang dibunuh kelompok mafia lain. Sebagai antisipasi, Kuzen mengajari Eto bela diri dan menggunakan senjata.

Setiap pindah kota, Kuzen selalu membawa dua bawahan setianya yang jarang dikenal mafia lain, yaitu Yomo Renji dan Tatara. Mereka mengawal Kuzen ke manapun ia pergi.

Kuzen terang-terangan menceritakan masa lalu kelamnya pada sang anak, ia melarang Eto mengikuti jejaknya yang masuk ke dunia gelap. Biarlah Eto hidup normal.

Di museum ini, Kuzen menemukan pucuk kepala putih Renji lima meter darinya dan Tatara dua meter. Kuzen merasa tenang dua pria itu berada di dekatnya, karena saat ini ada firasat tidak enak yang merayapi hatinya. Kalau ada terjadi sesuatu, dua pria itulah yang akan menyelamatkan Eto.

Firasat buruk yang dirasakan Kuzen kian membesar setiap detiknya.

Firasat yang memberitahu inilah waktunya kembali ke pangkuan Sang Pencipta.

Genggaman pada putri kecil mengerat, mungkin ini jalan-jalan terakhirnya dengan Eto. Kuzen tidak menyesal membesarkan Eto penuh kasih sayang, memberinya pendidikan, dan membawa Eto ke tempat-tempat menyenangkan di dunia ini.

Di masa lalu memang Kuzen mengukir namanya sendiri sebagai manusia terburuk dan bergelimang dosa. Setidaknya, di masa-masa terakhir hidupnya Kuzen menjadi ayah yang baik bagi putri satu-satunya.

“Eto-chan.”

Eto mengangkat kepala, senyum di wajah bulatnya mengingatkan Kuzen pada paras ayu sang istri. Hati si pria teriris, putrinya masih sekecil ini dan dia terpaksa meninggalkannya.

Ukina, mungkin ini waktuku menyusulmu.

“Ayah mencintaimu. Tumbuhlah jadi gadis baik dan kuat.” Kuzen tahu Eto masih membutuhkannya, tapi bukankah dunia itu terkadang kejam?

Belum sempat Eto menjawab, sebuah peluru menembus kepala Kuzen. Genggaman ayahnya mengendur, bersama tubuh yang jatuh menubruk lantai. Cairan merah amis membasahi lantai putih. Pekikan pengunjung museum memperkeruh situasi.

Semuanya terjadi begitu cepat. Eto tergemap, berusaha mencerna apa yang terjadi di depan matanya.

“Kita pergi sekarang.”

Renji menyambar cepat tangan Eto dan berlari membawa gadis kecil itu keluar dari musem, diikuti Tatara menyusul dari belakang.

Eto memutar tubuh kecilnya, tangan berusaha menggapai tubuh Kuzen yang dikelilingi pria-pria berbaju hitam. Jarak Eto dan ayahnya diperjauh, mustahil tangan kecil itu mampu menarik Kuzen pergi bersamanya. Air mata mulai menitik, menyampaikan isi hati yang enggan dipisahkan dari sang ayah.

Otou-san masih ada di—”

“Biarkan ayahmu. Kita harus pergi jauh.”

Renji dan Tatara masih ingat pesan Kuzen sebelum mereka pergi ke museum.

Jaga Eto. Rawat dan besarkan dia hingga menjadi wanita tangguh. Bawa dia pergi jauh dari Jepang. Aku yakin kalian mampu melakukannya.

Setelah Kuzen mengucapkan kalimat itu, Renji sudah menahannya agar membatalkan rencana ke museum. Namun, Kuzen tetap keras kepala membawa Eto pergi.

Mungkin ini kali terakhir aku dan Eto-chan berjalan-jalan. Jangan tahan aku, Renji.

***

“Mona Lisa, mahakarya Leonardo da Vinci yang dibuat sekitar tahun 1503. Tapi yang ada di sini tiruannya saja.” Seorang wanita berpakaian serba hitam melangkah dan menyamakan posisi dengan pria yang berdiri di depan tiruan lukisan Mona Lisa.

“Kau bicara padaku?” Si pria bertanya heran.

“Tentu.”

Si wanita membentuk seringai di bibir merah yang tersembunyi di balik topengnya. “Senang berjumpa lagi denganmu, Kaiko-san.”

Tangan bergerak pelan menarik pistol dari balik coat hitam, satu peluru yang memekakkan telinga lolos menembus kepala Kaiko. Pria itu tak sempat menghindar, gerakan Eto yang mulus dan cepat melengahkannya.

Pistol kembali disembunyikan setelah Kaiko jatuh dan darahnya menyebar di lantai putih. Dengan gerakan tenang dan hening, Yoshimura Eto meniti jalan menuju pintu utama museum. Orang-orang terlalu takut dan panik untuk menyadari keberadaannya.

Peristiwa dua puluh tahun yang lalu kembali terulang. Di museum yang sama. Kasus yang sama terjadi lagi, yaitu penembakan kepala seorang pria.

Suasana pengunjung yang kocar-kacir mencari jalan keluar dan teriakan menggema di sana-sini masih sama. Tempat dan kejadian sama persis. Yang berbeda hanya pelaku dan korban.

“Perasaan nostalgia, huh?”

[]

30(+1) Days With Them | Mix Anime ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang