Yuhuuuuu ... Saia up lagi 😎
.
.
.Setelah mengantar Kenzo sampai di sekolah, aku melajukan kendaraanku ke tujuan selanjutnya. Arka memang masih tiga tahun, tapi aku mendaftarkannya di sebuah Kelompok Bermain, yang nama kerennya Playgroup. Agar dia mendapat teman baru, bereksplorasi hal baru dan yang paling penting mendapat pengalaman baru. Selama beraktivitas di Kelompok Bermain, Arka ditunggui pengasuhnya, yang akrab dipanggil Mbak Hana. Biasanya Pak Razak yang akan menjemput Arka dan Kenzo sesuai jam pulang mereka.
Pak Razak sendiri sudah bekerja sejak aku duduk di sekolah menengah pertama. Dia supir Papa yang baik. Sama seperti Budhe Marni, istrinya. Mereka seperti keluargaku sendiri. Jika Mama dan Papa sedang lembur bekerja atau tugas di luar kota, merekalah yang selalu menemaniku.
Setelah memastikan Arka dan mbaknya masuk ke dalam gedung, aku melanjutkan perjalananku ke cafe.
R's Cafe
Cafe ini berdiri di sebelah butik yang ku bangun dengan bantuan Papa. Tepatnya, Papa mengeluarkan dana yang besar untuk mewujudkan impianku. Karena melihat banyaknya desain baju yang ku buat. Papa memberiku jalan untuk membuat nyata desain-desain tersebut. Akhirnya berdirilah R's Boutique saat aku masih duduk di semester empat jurusan ekonomi di sebuah universitas negeri.
"Papa hanya bisa kasih kamu ini. Tolong kamu kelola dengan baik. Jadi kalau besok Papa pulang, Papa nggak khawatir," ucap Papa saat memberikanku kunci butik untuk pertama kalinya.
Mataku berkaca-kaca mendengarnya. Aku memeluk Papa sebagai rasa terima kasih. Aku anak tunggal. Papa dan Mama menunggu kehadiranku selama enam tahun pernikahan mereka. Aku berjanji tidak akan mengecewakan Papa dan menghargai semua amanahnya. Tiga tahun sebelum Papa pensiun dari pekerjaannya, Papa menghadiahiku R's Cafe pada hari ulang tahunku.
"Hiduplah dengan baik," pesan Papa waktu itu.
Baru satu tahun aku mengelola cafe itu, Papa berpulang. Padahal aku ingin menunjukkan kepada Papa bahwa aku bisa mengelola butik dan cafe itu dengan baik.
Aku memejamkan mata sebelum melepas seatbelt-ku. Aku menatap cafe dan butik dari tempat parkir. Seandainya Papa di sini, pasti Papa bangga kepadaku, batinku. Aku menarik napas sebelum keluar dari mobil dan menguncinya.
"Pagi, Bu Rania," sapa Pak Totok saat aku melintasi pos penjagaannya. Dia sudah bekerja lima belas tahun sejak R's Boutique berdiri. "Bu Rania sudah ditunggu teman-temannya di dalam."
Dahiku mengernyit. "Siapa, Pak?"
"Temennya Bu Rania yang biasanya nongkrong disini itu loh, Bu."
Tumben. "Makasih ya, Pak."
Pak Totok mengangguk sambil tersenyum. Sementara aku mempercepat langkahku masuk ke dalam cafe. Penasaran mengapa mereka tiba-tiba nongkrong di jam kerja mereka. Ini masih terlalu pagi untuk berkumpul, apalagi di hari efektif kerja seperti ini. Bahkan R’s Café saja belum buka. Begitu aku membuka pintu cafe, aku tidak kesulitan menemukan mereka.
"Ran." Tania melambaikan tangannya untuk menyapaku. "Kita udah nungguin dari tadi."
Aku duduk di kursi yang tersisa, melihat isi meja mereka. Cappucino tinggal separuh, milkshake yang sudah tandas, kopi hitam yang sudah mendingin. Juga piring roti bakar dan waffle yang sudah ludes isinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Wanita-wanita Suamiku (End)
ChickLitHai, readers.... Masih ingat ceritaku yang satu ini??? Wanita-wanita suamiku mengalami banyak revisi. Apa bedanya???? Jadi secara garis besar sih sama, hanya saja per babnya lebih panjang lho dari yg versi lama. Jadiiiiiiii..... Yuk, baca sekali lag...