3. Keluarga Bahagia

4.8K 240 6
                                    


Ruang makan ramai dengan celotehan anak-anak dan suamiku. Anak-anak berebut meminta perhatian dari ayahnya. Aku hanya tersenyum mendengarnya. Berusaha mengabaikan rasa sakit yang ku pendam jika mengingat foto yang dikirim Adel beberapa waktu yang lalu. Aku masih berusaha mempercayai suamiku.

Di depanku Kenzo duduk manis sambil menghabiskan roti isinya. Kenzo, anak pertamaku yang usianya delapan tahun. Dia duplikat Mas Hendra. Mata, hidung, bentuk wajah, kesukaannya, semua seperti ayahnya. Kenzo hadir tepat sebulan usia pernikahan kami. Aku masih ingat betapa bahagianya Mas Hendra saat mendengar kehamilanku. Dia sampai melompat-lompat seperti anak kecil yang mendapat mainan baru.

Selama kehamilan pertamaku, Mas Hendra lebih menunjukkan kasih sayangnya padaku. Beruntungnya aku tidak mengalami morning sickness yang parah. Moodku sangat baik. Hingga saat aku melahirkan, Mas Hendra setia mendampingiku. Dia tidak mempedulikan bagaimana aku menyalurkan rasa sakitku saat proses persalinanku berlangsung. Aku baru menyadari ada bekas cakaran di tangannya saat dia menggendong Kenzo untuk diadzani.

"Itu tangan kamu kenapa, Mas?" tanyaku saat melihat bekas cakaran di tangannya.

Dia hanya tersenyum. "Habis berantem."

Wajahku pias seketika. "Mas berantem sama siapa? Kapan?"

"Sama ibu-ibu melahirkan tadi."

"Kok bisa kamu dicakarin gitu?" Aku bertambah bingung menatapnya yang masih senyum. "Siapa wanita itu?"

"Sudahlah, sayang. Ngapain lagi sih dibahas? Kan udah lewat."

Aku memberengut kesal. "Trus ada hubungan apa kamu sama wanita itu? Kok dia sampai nyakarin kamu?"

Lagi-lagi Mas Hendra tersenyum sambil menimang Kenzo. "Kamu nih ya ..."

"Siapa wanita itu, Mas?" potongku tidak sabar.

"Eh, bundanya Kenzo nggak boleh marah-marah lho. Nanti pengaruh ke ASI."

"Ya, habisnya aku kesel. Masa tangan kamu dicakarin kayak gitu. Salah kamu itu apa? Coba liat sini!" Aku merentangkan tanganku agar Mas Hendra mendekat. Secara, aku belum bisa bangun dari tempat tidur pasca melahirkan.

Mas Hendra mendekat menunjukkan lengan kanannya, sementara lengan kirinya menggendong Kenzo.

Hatiku meradang melihat luka itu lebih dekat. "Liat deh tangan kamu. Sampai begini." Aku mengusap area sekitar bekas cakaran itu. Lengan suamiku memerah dan kulitnya sedikit terbuka. “Udah diobatin belum? Perih ya?”

"Nggak apa. Aku ikhlas kok."

"Siapa wanita itu? Biar aku samperin dia, Mas."

"Ngapain?"

"Mau ngasih pelajaran."

Mas Hendra tertawa.

"Kok kamu malah ketawa sih, Mas?"

 "Kamu mau tahu siapa yang udah nyakar Mas?"

"Siapa? Minta dihajar tuh orang." Aku sudah pasang badan untuk meluapkan emosiku.

"Yakin?" tanya Mas Hendra penuh selidik.

"Siapa, Mas?"

Mas Hendra tersenyum. "Wanita itu adalah bundanya Rajendra Kenzo Prambudi."

Aku terdiam menatap Mas Hendra. Seketika air mataku meluruh. Aku mengambil tangan kanannya dan mencium tangan kanannya. "Maafin aku ya, Mas."

Mas Hendra melepas tanganku dan mengusap kepalaku dengan sayang. Sama seperti pertama kali dia melakukannya tengah malam itu. "Udah dong nangisnya. Nanti Kenzo ikutan nangis lho."

Wanita-wanita Suamiku (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang