11. Sst!

2.8K 196 9
                                    


Langkah kakiku melambat menatap pasangan yang jaraknya beberapa meter di hadapanku. Yang wanita memegang lengan laki-laki dengan erat, sementara sang laki-laki membawa beberapa kantong belanjaan dengan raut wajah datar. Wanita itu adalah wanita yang berjilbab di cafeku tadi dan laki-laki itu adalah suamiku.

Belum sempat aku berpikir apa yang harus aku lakukan, Danisha sudah bersuara. Mereka sudah di hadapanku.

"Hendra!"

Mas Hendra yang tadinya tampak lelah, kini terperangah saat menyadari aku yang ada di depan. Dia tak melepaskan tatapannya dariku. Dia sedang ketakutan.

"Sopo iki, Ndra? Kowe selingkuh? (Siapa ini, Ndra? Kamu selingkuh?"

Bahkan aku tak mempedulikan celotehan si bule jawa di sampingku. Sementara itu, wanita yang memegang lengan suamiku menatapku heran.

"Ran, ojok meneng wae. (Ran, jangan diam saja.)"

Mataku menatap tajam wanita yang ada di samping suamiku. Saat di cafe tadi wanita itu mengatakan bahwa dia tidak mau jika suamiku tahu bayinya bukan anak suamiku. Curang sekali! Wajah wanita di samping suamiku tiba-tiba memucat. Mungkin dia mengingat wajahku. Seolah mengerti arti tatapanku, dia melepaskan tangannya dari lengan suamiku. Dia tampak gelisah.  Ingin sekali ku bongkar rahasianya saat di cafeku tadi. Tapi sayangnya aku kehilangan bukti.

Tangannya tampak gemetaran mencengkram lengan suamiku. "Ayo pulang," ajak wanita itu pada suamiku. Dia memaksa suamiku untuk pergi dari hadapan kami. Pasti wanita itu takut aku membongkar rahasianya. Dia seolah lupa kalau sedang membawa bayi di perutnya. Langkahnya begitu buru-buru sementara suamiku hanya diam mengikutinya.

"Kowe iki ya opo seh, Ran? Iku Hendra ga mbok kejar ta? (Kamu ini bagaimana sih, Ran? Itu Hendra tidak kamu kejar?)"

Aku hanya menggeleng.

"Iku selingkuhane Hendra sing liyane ngunu ta? (Itu selingkuhannya Hendra yang lain?)"

"Sst!" Aku menempelkan jari telunjukku di depan mulut. "No comment."

Aku berjalan cepat meninggalkan Danisha, mencari pintu keluar. Bagaimana caranya aku bisa membuktikan jika anak yang dikandung wanita itu bukan anak suamiku? Masalah dengan Alina saja belum jelas, sekarang ditambah lagi dengan si jilbaber.

"Bojomu iku ya opo seh, Ran? Ga terimo aku nek kowe diselingkuhi. (Suamimu itu bagaimana sih, Ran? Aku tidak terima kalau kamu diselingkuhi.)"

Baru saja aku menyalakan mobil untuk kami pulang, bule jawa ini sudah memulai celotehannya lagi.

"Ran, saiki Hendra telpunen ana nang ngendi, ayo diparani. Mentolo tak jambak ae wadon iku. (Ran, sekarang telepon Hendra, tanya dimana, ayo kita susul. Ingin ku jambak saja wanita itu.)"

"Sst!" Aku kembali menyuruhnya diam.

Danisha menatapku heran dan marah. "Jane kowe iki normal ta ga seh, Ran? Bojo mlaku mbek wadon liyo kok nyante koyok ngene. Diapakno kowe mbek Hendra sampek koyok ngene? (Sebenarnya kamu normal atau tidak sih, Ran? Suami jalan dengan wanita lain kok santai begini. Apa yang Hendra lakukan sampai kamu seperti ini?)"

"Duh, Nish, isok meneng ga seh kowe? Ket mau ngoceh wae! (Duh, Nish, bisa diam tidak sih kamu ini? Dari tadi berisik saja!)"

Kini Danisha melongo menatapku yang berbicara dengan bahasanya.

"Tutup tuh mulut, ntar ngiler lagi di mobilku," tambahku kesal dan mulai menjalankan mobil.

***

Waktu menunjukkan pukul 13.18 saat aku sampai di café sementara Danisha sudah ku antar ke tempat kerjanya tadi. Dia sempat mengomel karena tadi tidak mendapatkan muffin untuk anak-anaknya. Begitu aku menyarankan delivery, Danisha bukannya tenang malah semakin mengomel.

Wanita-wanita Suamiku (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang