📌25 - Berakhir

524 64 11
                                    

"Sialan, Jovanka"

Jimmy melepas pelukan rose dan berlari dengan cepat keluar dari cafe tak memperdulikan bahwa dirinya sempat menabrak beberapa orang dan menyebabkan kekacauan. Yang ada dipikirannya saat ini hanyalah jovanka. Gadis itu bahkan sudah berniat memasuki mobilnya dan pergi dari sana. Jimmy tahu apa yang ada dipikiran gadis itu.

Namun jimmy dengan tak kalah cepat menahan tangan jovanka yang hendak menutup pintu mobil. Jovanka terkejut dan berbalik, wajahnya tak sesedih dan sendu seperti tadi. Kini yang berada di depan jimmy adalah jovanka, kakak tingkatnya yang dingin dan kejam. "Jim", sapanya begitu santai, membuat jimmy mengerutkan keningnya, menyadari betapa cepat jovanka meredam emosi dan kesedihannya.

"Jov", ucap jimmy bermaksud membalas sapaan jovanka tadi. Tangannya merebut kunci mobil di tangan jovanka. "Gua anterin ya, sekalian ada yang mau gua omongin". Belum sempat jovanka membuka mulut, jimmy bahkan sudah duduk di kursi kemudi. Jovanka mencebik dan berjalan memutari mobilnya sebelum akhirnya menutup pintu mobilnya.

Jimmy melajukan mobil jovanka dengan kecepatan sedang. Sejak meninggalkan cafe, keduanya hanya diam fokus pada pikirannya masing-masing. "Jim" / "Jov".

Jovanka berdehem dan menggerakkan jemarinya acak, salah tingkah. "Lo dulu aja".

Jimmy tidak menolak, lebih cepat lebih baik. "Kenapa lo gajadi masuk ke cafe tadi?"

Jovanka melebarkan matanya mendengar pertanyaan jimmy, memaksa otaknya memikirkan alasan masuk akal dengan cepat. "Gua tadi nyari temen gua, kita mau ketemuan, tapi kayanya dia gajadi dateng". Jovanka merapalkan doa didalam hati semoga alasannya terdengar masuk akal.

"Jov udahlah, gaperlu ngarang cerita. Gua juga pengen masalah diantara kita cepet kelar"

Jovanka melirik jimmy yang masih fokus dengan kemudi dan jalanan didepannya. Jovanka menghela nafas berat, terus memainkan jemarinya diatas pangkuan tanda gugup. Tidak biasanya, bahkan dalam banyak acara resmi dan interview lainnya bisa ia handle dengan baik. Jovanka tersenyum kecil merasakan efek jimmy yang begitu besar pada dirinya.

"Gua juga niatnya mau nyelesain masalah gua", jovanka memutuskan untuk buka suara. Mungkin ini memang harus ia lakukan sejak tadi tanpa adanya drama. Sedangkan jimmy hanya diam seolah mempersilahkan jovanka untuk mengatakan semuanya.

"Gua cape jim. Cape jalanin hubungan tanpa rasa sama nevan. Gua juga cape karna gabisa ngejar apa yang mau gua kejar karna kehalang rasa terimakasih gua sama nevan. Gua juga cape nutupin perasaan yang gua punya buat lo"

Jovanka menyempatkan diri untuk melirik jimmy yang tak menunjukkan reaksi apapun. Telinganya fokus mendengar penuturan jovanka, sedang mata dan tangannya sibuk pada kemudi. Jovanka melanjutkan, "Gua uda mutusin nevan tadi".

Jimmy menoleh cepat pada jovanka, senyumnya terpatri tanpa bisa ia tahan-tahan. Hatinya membuncah. "Terus?"

"Satu masalah gua udah selesai, gua ga pengen tanggung-tanggung. Jadi biarin gua selesain masalah kita juga ya"

"Jadi kita punya niat yang sama"

Jovanka terkekeh, "Tanpa gua bilang pun, lo pasti tau kalo gua masih punya perasaan sama lo. Gua juga berharap perasaan lo masih sama, tapi—tapi kayanya lo uda ga—"

Tak membiarkan jovanka menyelesaikan ucapannya, jimmy memotong. "Lo tau ga, salah satu sifat cewe yang ga gua suka?"

Jovanka menegakkan tubuhnya, kemudian menggeleng ragu, "Apa itu?"

"Mereka selalu nganggep apa yang mereka pikir itu bener. Padahal nyatanya lo dan semua pikiran negatif di kepala lo itu salah, gua berani jamin. Mau denger versi gua?"

Evince ;minyoon [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang