Pagi itu, meski cerah, terasa begitu kelam di hati. Langit berwarna kelabu, tak memantulkan harapan, hanya menyisakan suasana dingin yang menyelusup ke dalam kulit. Angin yang berhembus lembut, justru memberikan perasaan ganjil yang mengundang kecemasan. Cahaya mentari yang biasanya menenangkan terasa seolah hanya fatamorgana di tengah dunia yang hancur. Embun yang biasanya memberi kesegaran, kini serasa membawa hawa dingin yang menusuk hati mereka, mengingatkan bahwa hidup mereka masih terperangkap dalam mimpi buruk.
“Maaf, aku kesiangan,” ucap Mira seraya berjalan lesu menuju dapur.
Di dapur, Abel dan Rena tengah sibuk memasak pasta dengan sisa bahan yang mereka temukan dari supermarket saat pelarian beberapa hari yang lalu. Uap hangat dari panci seolah menjadi satu-satunya kehangatan di rumah itu. Tapi bahkan aroma pasta yang semerbak tak mampu menyingkirkan aura ketakutan yang mulai merayap di dinding rumah.
“Gak apa-apa, ayo makan!” sahut Abel, berusaha terdengar ceria meski sorot matanya mengisyaratkan kecemasan yang sulit disembunyikan.
Mira memutar pandangannya ke arah Dina, yang sedang berdiri terpaku di dekat jendela, memandangi halaman rumah dengan tatapan kosong. Jendela itu baru saja dibuka sedikit, dan udara dingin langsung menyeruak ke dalam rumah, membawa serta bisikan suara yang samar, seperti geraman tak manusiawi dari jauh.
“Dina, ayo bantu sini!” panggil Rena dari dapur, mencoba mengalihkan perhatian Dina.
Mira berjalan mendekat, mencoba menghidupkan percakapan ringan, “Selamat pagi.”
Dina menoleh sekilas, bibirnya melengkung sedikit, tetapi matanya tak benar-benar berbinar. “Pagi,” jawabnya singkat sebelum kembali memandang ke luar jendela. Pandangannya terus menyapu halaman yang sepi, seolah menunggu sesuatu yang tak terlihat. Entah firasat atau ketakutan, tapi Mira tahu, Dina tidak sepenuhnya tenang.
Di tengah suasana tegang itu, Abel mencoba mencairkan suasana. “Ambil itu, Din,” katanya sambil menunjuk sepiring pasta yang sudah siap di atas meja.
“Kamu beneran jadi kayak ibu buat kita semua,” seru Dina dengan nada ringan, meskipun ada sedikit ketegangan di balik tawa yang dipaksakan.
Abel tertawa kecil. “Ini esensi bertahan hidup. Dan lagian, aku harus terus asah kemampuan masakku,” balasnya, mencoba menghidupkan sedikit humor di tengah situasi yang semakin tegang.
Mira, yang duduk di meja, ikut menyahut, “Kamu tahu, Abel memang jago masak. Lagian, kamunya aja yang masih suka kekanak-kanakan, Din.”
Dina mencibir, “Kamu juga, Mira. Ngomong sambil makan? Aduh, bawel!”
Sebelum mereka bisa melanjutkan canda, suara dari luar rumah mulai terdengar. Gedoran keras menggetarkan jendela dan pintu rumah, membuat suasana yang semula hening langsung berubah mencekam. Suara-suara itu semakin lama semakin brutal, seakan makhluk-makhluk di luar sana tengah berlomba untuk menerobos masuk.
BRAK... BRAK...
Semua yang berada di dapur terdiam sejenak, darah mereka seakan membeku mendengar suara mengerikan tersebut. Abel meletakkan spatula dengan gemetar, tatapannya bertemu dengan Rena yang kini tampak pucat pasi.
“Suara apa itu?” tanya Dina, matanya membelalak dengan ketakutan yang mulai merayap.
“Entah, mungkin aku harus cek,” ujar Aryo yang tiba-tiba muncul dari ruang tamu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Survive In School [REVISI]
Ciencia FicciónCerita ini dimulai di sebuah SMA yang terletak di pinggiran kota besar. Suasana harian sekolah berlangsung biasa hingga suatu hari sebuah virus misterius menyebar dengan cepat, mengubah orang-orang menjadi zombie ganas. Saat kekacauan melanda, delap...