Bel sekolah bergema melalui lorong, menandakan jam masuk kelas yang ditunggu-tunggu. Dengan semangat penuh, siswa dan siswi kelas 10 IPA berjalan menuju ruang kelas baru mereka.
Tidak butuh waktu lama sebelum seorang pria muda berusia 30-an memasuki ruangan dengan senyum yang ramah terukir di wajahnya. Dia adalah Pak Bagas, yang membawa beberapa buku di tangannya saat menyapa murid-muridnya dengan ramah.
"Selamat pagi anak-anak" ucap Pak Bagas sambil tersenyum.
"Pagi pak!" jawab seluruh murid 10 IPA serempak dengan antusias.
Pak Bagas dengan cermat memperkenalkan dirinya kepada murid-muridnya, menyadari pentingnya menciptakan hubungan yang baik dengan mereka. Dia percaya bahwa untuk mendidik, dia harus terlebih dahulu memahami murid-muridnya. Karena dedikasinya terhadap profesi, setiap tahun pada perayaan Hari Guru, Pak Bagas selalu dinobatkan sebagai guru terbaik.
Ketika tiba giliran untuk mengabsen, nama Abel disebut oleh Pak Bagas. Abel, seorang siswi yang mengidap rabun jauh duduk di belakang kelas. Pak Bagas khawatir bahwa tempat duduknya akan memengaruhi konsentrasi dan belajarnya, Pak Bagas meminta Abel untuk pindah ke bangku depan.
"Abel" panggil Pak Bagas.
"Iya, pak?" jawab Abel dengan sopan.
"Gimana kalau kamu pindah ke depan? Bapak khawatir tempat dudukmu di belakang akan mengganggu belajarmu" usul Pak Bagas.
"Dengan senang hati pak" jawab Abel sambil membawa tasnya beserta buku dengan hati-hati.
Abel menuruti permintaan Pak Bagas untuk pindah tempat duduk. Di depan, hanya ada satu bangku kosong di samping seorang siswi cantik bernama Rena. Meskipun Rena terkesan cuek, Abel tetap mencoba menyapanya dengan sopan.
"Hai, aku Abel" ucap Abel sambil mengulurkan tangannya.
"Gue Rena" jawab Rena dengan nada acuh, tidak menanggapi uluran tangan Abel.
"Kamu tinggal dimana?" Abel mencoba bertanya tentang tempat tinggal Rena, tetapi tidak mendapat respon apapun. Mungkin Rena tidak nyaman atau memang sulit diajak bicara dan menolak untuk terlibat dalam percakapan lebih lanjut.
Setelah selesai mengabsen, Pak Bagas mencari kandidat untuk menjadi ketua kelas. Namun, tidak ada yang mengangkat tangan. Pak Bagas akhirnya dengan berat hati memilih Aryo, mantan ketua OSIS dimasa SMP-nya untuk menjadi ketua kelas.
"Aryo, kamu mau jadi ketua kelas?" tanya Pak Bagas.
"Apa boleh?" jawab Aryo ragu.
"Kalau lo setuju, kita juga setuju. Lagi juga gak ada yang mau kan?" tambah Rangga, teman sebangku Aryo.
Dengan dukungan dari teman-teman sekelasnya, Aryo akhirnya menerima posisi tersebut. Sebuah tepuk tangan meriah mengiringi pengumuman tersebut, menunjukkan dukungan dari seluruh kelas untuk Aryo.
To Be Continued...
KAMU SEDANG MEMBACA
Survive In School [REVISI]
Ficção CientíficaCerita ini dimulai di sebuah SMA yang terletak di pinggiran kota besar. Suasana harian sekolah berlangsung biasa hingga suatu hari sebuah virus misterius menyebar dengan cepat, mengubah orang-orang menjadi zombie ganas. Saat kekacauan melanda, delap...