🍇 25

626 110 18
                                    

Kinta berlari kecil hingga kakinya sampai di ujung jalan yang berbatasan langsung dengan sawah. Melihat pemandangan, setelahnya ia kemudian mengeluarkan ponsel untuk memotret. Kedua tangannya ia arahkan selurus bahu, memfotonya, kemudian barulah perlahan tergerak ke atas saat Kinta ingin fokus pada lembayung senja yang terlukis indah di langit.

Erkan diam di motor sambil memperhatikan gadis itu dengan posisi kepalanya yang miring. Ia menempatkan kepalanya itu di atas lipatan tangan yang bertumpu pada helm sekaligus tangki bensinnya.

Erkan mengerjapkan mata pelan, lalu seulas senyum pun terbit di wajahnya. Ia bahagia melihat Kinta yang ceria. Cinta atau apapun namanya, yang pasti Erkan sudah yakin bahwa dirinya punya perasaan lebih pada gadis cerewet yang pernah membuatnya kesal di awal bertemu. Jujur Erkan tak tahu kapan perasaan itu dimulai, tapi Erkan benar-benar tak ingin perasaan itu berakhir.

Belaian angin yang menerpa wajah Erkan kemudian malah membuatnya perlahan terpejam. Tak hanya karena angin, tapi juga karena fisik dan pikiran Erkan yang cukup lelah.

Kinta menoleh ke belakang, hendak memanggil Erkan. Namun, dirinya terkejut saat melihat cowok itu memejamkan mata di atas motor. Langsung, Kinta pun berlari menuju Erkan. Mata Kinta bergerak ke sana kemari karena panik. Mencoba tenang, ia pun menyentuh tangan Erkan yang tertutup jaket navynya.

"Erkan?" panggil Kinta.

Karena tidak sepenuhnya tidur, Erkan masih bisa merasakan sentuhan serta panggilan Kinta dan maka darinya cowok itu pun membuka mata.

"Erkan kenapa?" tanya Kinta khawatir.

"Hm?"

Erkan mengangkat kepalanya dan mengubah posisinya jadi duduk menyamping di motor. Ia lalu menatap wajah Kinta lekat-lekat, sebelum akhirnya mendaratkan kening pada bahu gadis itu.

"Cape banget, Kin ...," keluh Erkan. Dan Kinta masih membelalakkan mata karena terkejut.

Hati Kinta berdebar tak karuan. Kemudian, tangan gadis itu pun terangkat untuk memegang pipi Erkan, niat Kinta adalah agar Erkan menegakkan kembali kepalanya. Namun, yang terjadi malah Erkan yang menahan tangan Kinta supaya tetap memegang wajahnya.

"Sebentar aja tetep gini," pinta Erkan.

"E-Erkan cape karena abis main basket?" Kinta mencoba menebak, walau ternyata jawaban Erkan adalah sebuah gelengan.

"Terus cape karena apa?" tanya Kinta pelan.

"Kin."

"I-iya?"

"Jangan ya?"

Kinta menautkan alis. "Jangan apa Erkan?"

Lagi, Erkan malah menggeleng.

Jangan tinggalkan Erkan, karena ia butuh Kinta ada di sisinya. Sidang perceraian orangtuanya semakin dekat dan Erkan masih belum siap karena ia harus menjadi saksi. Jangan juga bersama Dariel, karena Erkan tak mau membenci gadis yang ia sayang.

Erkan tidak dapat menjelaskan semua isi hatinya pada Kinta. Namun untuk saat ini, Kinta bisa mengerti bahwa Erkan membutuhkannya pun sudah lebih dari cukup.

"Erkan ... apapun masalahnya, Erkan harus tetep semangat ya. Jangan sungkan juga buat cerita sama Kinta kalo ada apa-apa."

Erkan tersenyum kecil dan mengangguk. Kemudian ia melepaskan tangan Kinta, lalu mengangkat wajahnya lagi. Namun baru saja lelaki itu memandang wajah Kinta dengan jelas, Erkan sudah dikejutkan dengan kedatangan telapak tangan Kinta. Ia kira gadis itu akan menutup matanya, tapi Kinta mendaratkan telapaknya di kening Erkan.

"Bener."

"Bener?" Erkan bertanya.

"Pipi Erkan panas, keningnya juga, Erkan demam."

Blackcurrant ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang