part 1

250 14 2
                                    

Gadis itu Mona, sedang duduk di depan meja belajarnya, dia sedang menulis di sebuah buku diary yang sudah terlihat lusuh tak lupa juga dengan sebuah earphone yang menempel di telinga nya.

Entah dari kapan dia mulai suka menulis diary. Mungkin sejak hari itu, hari dimana sebagian kebahagiaan nya hilang karena sesuatu.

Sesuatu itu benar-benar membuat dirinya sangat amat sedih, tapi tidak membuat dirinya berubah. Mungkin ada sebagian dari dirinya hilang.

Senyuman, tapi dia selalu tersenyum. Iya, senyuman untuk menutupi semua rasa sakit itu. Senyuman yang tulus, senyuman yang benar-benar mengartikan sebuah rasa senang itu hilang darinya.

Tapi tidak apa. Asalkan senyuman dari orang-orang yang disekitar nya masih sama, yaitu senyuman untuk kebahagiaan. Dan Mona akan berusaha menjadi alasan utama senyuman itu.

20 menit berlalu, Mona selesai menulis di buku diary itu kemudian menyimpan kembali buku itu ke tempatnya. Dia melepas earphone dari telinga nya dan meletakan nya dengan begitu saja di atas meja belajarnya.

Dia memutuskan untuk keluar dari kamar nya karena rasa lapar di perutnya.

Dia berjalan menuju arah dapur untuk melihat apakah ada makanan yang bisa dia makan. Walaupun tidak ada nasi, setidaknya sesuatu yang bisa mengganjal perutnya dari rasa lapar.

Dan seperti rezeki yang datang padanya, dia menemukan sepiring nasi goreng yang masih utuh, seperti benar-benar disajikan untuk nya.

Mona duduk di meja makan dan mulai memakan nasi goreng itu dengan tenang.

"Sudah ku duga. " Kata seseorang dari arah belakang mona.

"Uhukkk, uhukkk... " Mona terbatuk karena kaget mendengar suara itu.

Mona berbalik untuk melihat siapa orang yang sudah mengagetkan nya itu.

"Apa kau selalu bangun dan makan jam segini Ay? " Tanya nya.

Orang itu mulai berjalan mendekat ke arah Mona.

"Kenapa abang bangun? " Tanya Mona.

Arkan abraham. Anak sulung sekaligus kakak laki-laki Mona. Usia mereka hanya terpaut 4tahun.

"Aku bertanya, kamu malah nanya balik. " Arkan ikut duduk di meja makan dan duduk di kursi khusus sang ayah.

"Aku baru 2 kali kok bangun dan makan jam segini. " Jawab Mona untuk pertanyaan sebelumnya.

"Kamu terbangun apa memang tidak tidur? "

"Gak tidur. " Jawabnya dengan suara pelan.

Nasi goreng itupun habis, Mona berdiri dan berjalan ke arah wastafel untuk mencuci piring bekas nya itu. Setelah itu dia kembali duduk di tempat tadi.

"Apa yang kamu lakuin sampe gak tidur kayak gitu, Ay? " Tanya Arkan.

"Tidak ada. Hanya menulis sebuah diary. "

"Diary apa? Boleh abang liat? " Jiwa penasaran Arkan memang sudah mendarah daging.

"Tidak boleh. Abang hanya boleh membaca nya saat aku tidak ada. " Jawab Mona menahan sakit yang mulai muncul.

"Berarti pas kamu sekolah, abang boleh baca? "

"Tidak." Mona menjawab dengan singkat agar suara yang tidak diinginkan tidak keluar.

"Tadi kamu bilang pas kamu gak ada, abang boleh baca. "

"Maksudnya, saat aku sudah tidak ada di dunia ini. "

Jawaban itu, perkataan itu membuat Arkan begitu tertohok. Dia tahu soal rasa sakit itu, dia tahu kalau adiknya ini selalu menyimpan rasa sakitnya sendiri. Saat dimarahi kenapa dia tidak pernah bilang saat sakitnya kambuh. Mona selalu bilang.

"Kalaupun ku beritahu, rasa sakit yang aku rasakan tidak akan hilang. "

Arkan tahu itu, tapi sebagai kakak, dia ingin Mona membagi rasa sakit nya itu. Dia hanya ingin adiknya lebih terbuka padanya. Jika tidak kepada orang lain, kepada dirinya saja apakah tidak bisa?

"Kau tidak lelah menahan rasa sakit itu? " Tanya Arkan.

"Tidak. Untuk apa aku lelah? Sakitnya tidak seberapa kok. " Mona tersenyum.

Senyuman itu bohong, Arkan tahu senyuman itu bukanlah sebuah senyuman yang semestinya.

Senyuman slalu ditampilkan untuk menutupi semua itu. Arkan selalu bertanya pada nya kenapa dia tidak pernah terlihat sedih ataupun menangis karena sakit nya itu. Dan lagi, jawaban Mona selalu membuatnya tertohok.

"Jika menangis membuatku membaik, maka aku akan melakukan nya setiap hari. Tapi nyatanya menangis tidak memperbaiki semuanya. "

Arkan selalu berpikir bahwa Mona lebih kuat darinya. Arkan pernah mengalami sebuah kecelakaan kecil, hanya kecelakan kecil pun dia tidak bisa tidak menangis.

Tapi Mona? Sakit itu, penyakitnya itu bukan sakit yang bisa semua orang tahan, bahkan Arkan sendiripun tidak bisa membayangkan betapa sakitnya itu. Tapi Mona, gadis berumur 18 tahun bisa menahan itu dan lebih hebat nya dia bisa menutupi rasa sakit itu.

Seberapa kuat Tuhan menciptakan nya?

Arkan masih belum menanggapi perkataan Mona tadi. Dia masih heran, sebenernya terbuat dari apa adiknya ini. Kenapa begitu kuat dengan itu, atau dia hanya pura-pura kuat untuk semuanya.

"Menangislah jika itu sakit. Kau tidak perlu menutupi nya di depan ku, Ay." Perkataan Arkan membuat Mona lebih tersenyum.

"Untuk apa? Aku kan udah bilang, sakit nya gak seberapa kok. " Jawab Mona

"Udah ah bang, udah jam 11 malem, aku ngantuk. Besok kan masuk sekolah. " Lanjut Mona.

Dia pergi lebih dulu meninggalkan abang nya sendiri di dapur. Setelah beberapa menit dia berada di dalam Kamar, rasa sakit itu semakin menjadi.

Mona berusaha untuk tidak menangis dan menahan rasa sakit itu. Darah pun mulai keluar dari hidung nya. Mona menyeka darah yang keluar itu dengan tangan nya, dan mulai mencari tisu untuk membersihkan darah nya.

Dan saat itupun pertahanan untuk tidak menangis runtuh begitu saja. Mona menangis tapi tidak bersuara, menahan isakan tangis supaya tidak di dengar oleh siapapun.

Dia terduduk di lantai seraya menahan sakit yang terasa amat menyakitkan.

"Tuhan, mengapa begitu sakit. Tolong jangan membuatku ingin menyerah."

"Tugasku untuk menjadi matahari untuk mereka belum aku mulai. Tolong kuat kan aku. " Lirihnya.

Dan saat itupun badan mungil dan rapuh itu tumbang.

"Kumohon Tuhan. "

Dan semua nya menjadi gelap...

🍃🍃🍃


















Jangan lupa vote&comment ya🖤

REDUPTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang