BAB 1

55 16 16
                                    

Di pagi hari yang bersinar terang, seorang gadis cantik berseragam SMA tengah menyiapkan makanan untuk dirinya dan sang adik sarapan. Tangannya begitu telaten membagi nasi menjadi dua. Mengukur nasi di piring supaya dia dapat jatah nasi goreng lebih banyak.

Shea Aprilia namanya. Gadis berusia 17 tahun yang sebentar lagi akan tamat SMA. Shea sudah tidak memiliki orang tua. Ibunya sudah tiada ketika Shea berusia 5 tahun. Ibunya meninggal setelah melahirkan adiknya, Silla Naiara.

Ayahnya Shea pun sudah tiada karena terlibat kecelakaan beruntun yang menewaskan banyak orang. Termasuk ayahnya Shea yang merenggang nyawa tepat ketika Shea berulang tahun di usianya yang ke-15.

Semenjak hari itu, baik Shea ataupun Silla sama-sama tidak menyukai hari kelahiran mereka.

Keluarga Shea termasuk orang yang berada. Shea dan Silla tinggal di rumah yang cukup besar dan kehidupan mereka terpenuhi. Tapi Shea tak begitu tergantung pada harta yang orang tuanya miliki. Ia memilih bekerja sebagai model remaja dengan bayaran yang lumayan tinggi. Cukup untuk memenuhi kebutuhannya juga sang adik. Dan dengan prestasi yang ia miliki, Shea pun berhasil mendapatkan beasiswa sehingga Shea tidak perlu terlalu memikirkan biaya sekolahnya.

Shea menoleh ke arah tangga saat mendengar adiknya turun tergesa-gesa. Gadis itu tertegun melihat Silla dalam balutan seragam putih biru yang begitu pas di tubuh rampingnya. Shea terharu dan tidak menyangka karena bisa mengasuh adiknya sampai sebesar ini.

"Kak, lihat! Seragamnya bagus, 'kan?" tanya Silla begitu semangat. Dia berputar membuat rok birunya mengembang.

Silla baru memasuki dunia putih-biru. Dia begitu semangat karena dapat bertemu dengan orang-orang baru dan bersekolah di tempat baru. Sifatnya yang ceria dan ramah sangat bertolak belakang dengan Shea yang jarang tersenyum dan cuek.

Shea selalu terpukau dengan penampilan Silla yang selalu cerah dan bersinar baginya. Rambut dan matanya yang sama-sama berwarna cokelat begitu indah dan membius pasang mata. Sikapnya yang ceria dan mudah tersenyum selalu menjadi obat bagi setiap duka yang Shea rasakan.

"Baguslah. Adik gue cantik soalnya," puji Shea seraya meletakkan piring berisikan nasi goreng di atas meja makan. Memuji sang adik tanpa berekspresi sama sekali.

"Serius?" Silla semakin senang karena Shea memujinya. Ia masih memainkan rok birunya seolah sedang memakai gaun princess.

"Tapi bo'ong hayuk." Shea menjulurkan lidahnya membuat Silla berdecak kesal. Rasanya memang mencurigakan jika sang kakak tiba-tiba memujinya.

Sekarang, mereka sibuk dengan makanannya masing-masing. Dalam hati, Silla selalu memuji apa pun yang Shea lakukan untuknya. Di usianya yang muda, dia berperan sebagai kepala keluarga sekaligus ibu rumah tangga dan seorang kakak. Walau sering mendapatkan hinaan dari banyak orang karena sudah ditinggal oleh orang tuanya sejak lama, Shea tak pernah menyerah demi adiknya.

Shea berjuang keras demi satu-satunya keluarga yang dia punya.

"Kenapa lihat gue kayak gitu?" tegur Shea membuat Silla terkejut. Tanpa sadar memperhatikan Shea yang sedang makan.

"Ah, aku cuma mau bilang makasih buat semua yang udah Kakak kasih ke aku. Maaf karena aku belum bisa membalasnya," kata Silla tulus.

Senyuman gadis itu membuat Shea tertegun dan merasa terharu karena perjuangannya benar-benar dihargai oleh sang adik.

Shea yang jarak berekspresi kini tersenyum. Adegan langka itu tak luput dari pandangan si bungsu. Mendadak, suasana di antara mereka menjadi canggung.

"Lo ... gak perlu begini juga." Shea bingung harus menyahut seperti apa? Ia menggerakkan kursinya supaya lebih dekat dengan sang adik. "Silla, gue seneng melakukan ini semua buat lo. Karena lo satu-satunya adik yang gue punya. Sebelum mama meninggal, dia bilang kalau gue harus jagain lo apa pun yang terjadi. Dan ya, gue akan selalu jagain lo."

"Oww ... Kakak so sweet." Silla semakin terharu saja. Kakaknya benar-benar perhatian walau tidak bisa menunjukkannya begitu jelas. Shea bahkan jarang tersenyum. Tapi Silla tahu, Shea selalu memerhatikan orang-orang sekecil apa pun itu.

"Udahlah, cepet sarapannya. Nanti keburu siang." Shea sudah selesai dengan sarapannya. SMP Silla dan SMA Shea berada di satu tempat yang sama. Hanya berbeda gedung saja. Dengan begini, mereka bisa pergi dan pulang bersama.

Silla mengikat rambut coklatnya menjadi satu. Ia baru sadar jika rambutnya begitu panjang hingga sepinggang. Netra cokelat terangnya melirik sang kakak tengah mencuci piring. Rambut hitam kakaknya pun sudah mencapai pinggang.

Silla menyerukan pendapatnya, "Kak, kapan-kapan potong rambut, yuk!"

Shea mengelap tangannya yang basah. "Kenapa? Rambut lo emangnya ganggu?"

"Lumayan." Shea memainkan poni rambutnya. "Pingin potong rambut aja. Biar lebih ringan."

"Boleh. Gimana kalau besok?"

"Beneran?" tanya Silla memastikan. Sang kakak hanya mengangguk membuat Silla meloncat kesenangan lalu memeluk sang kakak begitu erat.

🍃🍃🍃

Walau jarang berkumpul dengan orang-orang, Shea memang terkenal di sekolahnya. Parasnya yang cantik dan jarang berekspresi selalu membuat orang-orang terpana. Tak jarang mereka berebut ingin menjadi kekasihnya, tapi selalu berakhir dengan penolakan.

Shea memiliki mata berwarna abu-abu terang. Warna mata yang sangat jarang dimiliki di tempat tinggalnya. Matanya akan berkilauan ketika disorot oleh sinar matahari. Benar-benar kecantikan yang tidak manusiawi.

Karena kecantikannya itu pun, Shea menerima tawaran sebagai model remaja untuk memenuhi kebutuhannya. Walau sebenarnya dia malas karena harus bergaya dan tersenyum menawan di depan kamera, ia tetap bekerja dengan profesional dan semakin meningkatkan popularitasnya.

Memasuki kelas yang mulai ramai, Shea berjalan dengan tatapan lurus menuju kursinya yang berada paling belakang. Ia tak peduli dengan decakan kagum atau tatapan penuh iri yang selalu orang-orang lontarkan secara terang-terangan padanya. Shea hanya berharap bisa cepat-cepat tamat SMA dan fokus bekerja saja sebagai model.

"Eh, kelas kita bakal kedatangan murid baru, 'kan?" tanya seorang cewek berambut hitam sebahu pada teman-temannya.

"Iya! Cowok lagi. Katanya dia ganteng plus tajir." Si cewek berambut cepol menyahut. "Lumayan buat cuci mata kita."

"Namanya Reynaldo Galliardia. Gue udah stalk akun sosmednya. Tapi isinya cuma foto pemandangan doang. Kayaknya dia fotografer gitu, deh," jelas seorang gadis dengan poninya yang dihalau jepit berwarna pink.

"Ihh ... udah ganteng, tajir, berbakat lagi. Pingin deh, jadi pacarnya," seru gadis berkacamata mulai menghalu.

Shea mentertawakan dirinya sendiri. Dia tengah membaca novel seraya mendengarkan musik. Tapi semenjak orang-orang di kelas membicarakan sosok murid baru itu, Shea berhenti menyetel musiknya dan mendengarkan gosip mereka.

"Eh, kalau si Reynaldo itu sama Shea, menurut kalian cocok enggak?" tanya si gadis bermata empat mengganti topik. Ketiga temannya mendadak sebal.

"Apa sih, kalau ada yang ganteng langsung disangkutpautkan sama si Shea."

"Iya. Semua aja yang ganteng buat dia. Malesin."

"Sok cantik banget dia. Jangan bahas cewek sok kayak gitu! Kalau punya pacar, kalian harus hati-hati sama tuh cewek!" seru berambut cepol memperingati. Teman-temannya mengangguk setuju.

Shea tersenyum miris dan merasa sakit hati. Sejak dulu, banyak anak perempuan yang tidak suka berteman dengannya. Bukan sekali dua kali dia selalu disalahkan teman-teman perempuannya yang mendadak putus dari pacarnya. Padahal, Shea tidak melakukan apa pun. Bahkan dia tidak kenal dengan pacar dari teman-temannya.

Mau gimana lagi? Gue cantiknya kebangetan sampai orang-orang pada iri sama gue, batin Shea menghibur dirinya sendiri. Kembali membaca novel dan menyetel musik, ia menyesal malah mendengarkan gosip teman-temannya.

Surviving On The UnderworldTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang