Sabtu telah tiba. Rahma dan Erma menumpang angkot menuju sanggar pengantin milik salah seorang teman pengajian Erma, Tante Delia. Najla mewanti-wanti, ia ingin gaun pengantin yang syar'i.
"Iya, Neng. Mamah ngerti. Yang pake jilbab, kan?" Di dalam angkot, Erma memastikan.
"Bukan hanya pake jilbab, Mah. Tapi yang jilbabnya menutup dada."
Erma meringis. "Iya, nanti kamu bilang aja ke Tante Delia, ya? Mamah nggak ngerti yang gitu-gitu."
Terserah Najla mau pakai baju kayak apa, pikir Erma, yang penting dia menikah. Erma sudah lama menantikan hari bahagia ini. Ia dan Bahrun telah menabung selama setahun belakangan ini. Alhamdulillah hasilnya lumayan. Erma berharap, Teguh akan menyumbang cukup dana untuk acara resepsi nanti. Tak apa di rumah saja, yang penting bisa syukuran kecil-kecilan dan mengundang teman-teman pengajiannya.
Rahma dan Erma tiba di alamat yang dituju, sebuah gang buntu yang hanya cukup untuk satu mobil. Di sana ternyata Teguh sudah menunggu. Erma lega. Teguh ternyata semakin dekat ke acara pernikahan, semakin bisa diandalkan. Padahal Erma dan Bahrun sempat ragu dengan calon menantunya ini beberapa waktu silam.
Mereka pun memasuki rumah Tante Delia yang tak terlalu besar namun asri. Teguh menunggu di teras.
"Assalamu'alaikum!" sapa Erma ceria.
"Wa'alaikum salam!" terdengar dua suara menjawab dari arah dalam rumah.
Dan muncullah seorang perempuan yang membuat Rahma dan Erma terkejut bersamaan. "Bu Najla?"
Sepasang ibu dan anak itu saling pandang.
"Kamu kenal Bu Najla, Neng?" tanya Erma heran.
"Kenal, Mah. Kan Bu Najla istri pemilik apotek tempat Neng kerja."
Najla tampak senang bertemu dengan mereka berdua. "Masya Allah. Jadi, Rahma anak Bu Erma?"
"Iya, Bu. Ini anak perempuan saya satu-satunya." Erma tersenyum riang.
"Mamah dan Bu Najla kenal di mana?"
"Kami satu pengajian, Rahma," jawab Najla tak kalah riangnya. Tante Delia muncul di sana. Najla menoleh dan menambahkan, "Sama Bu Delia juga."
Rahma pun teringat. "Oooh, waktu itu Bu Najla pernah menyediakan konsumsi untuk pengajian, ya? Yang Mamah bawa pulang ke rumah?" Rahma menoleh ke Erma, memastikan.
Erma segera membenarkan. "Nah, iya, betul! Ini Bu Najla yang Mamah maksud."
"Masya Allah. Senangnya bisa ketemu di sini. Bu Erma dan Rahma mau jahit baju juga?" tanya Najla.
Tante Delia memang selain menyewakan baju pengantin, ia juga menyediakan jasa jahit. Namun belum sempat Rahma dan Erma menjawab, ponsel Najla berdering.
"Maaf, Mas Bram telepon." Najla segera menerima telepon dari sang suami. "Assalamu'alaikum. Iya, sudah selesai, Mas. Saya ke depan, ya? Iya. Oke! Wa'alaikum salam." Najla menoleh ke semua yang di sana. "Maaf, ini Mas Bram sudah nunggu di jalan raya di depan sama anak-anak. Tadi mereka minta ke minimarket. Saya duluan ya? Makasih, ya, Bu Delia. Saya bawa ya bajunya?"
Tante Delia tersenyum. "Saya yang makasih, Bu Najla. Mangga, ini sudah saya siapin di kantong yang besar."
Tante Delia menyerahkan kantung karton dengan ukuran yang sangat besar. Bisa masuk tiga sampai empat baju, taksir Erma sambil menatap kepo ke arah kantung itu.
Najla menerimanya dari Tante Delia. "Makasih, Bu. Yuk, mari, semua. Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikum salam."
KAMU SEDANG MEMBACA
ISTRI KETIGA
RomanceTAMAT! Terima kasih sudah sudi mengikuti perjalanan Rahma, Bramantya, Teguh, dan Najla. Terima kasih untuk yang sudah subscribe dan kasih bintang. Semoga Kakak-kakak selalu bahagia. Jangan lupa ikuti sequel-nya, BUKAN ISTRI KETIGA. SEGERA! *** Rahma...