Akhirnya, saya bisa juga melanjutkan kisah ini. Doakan saya selalu punya waktu untuk menamatkannya, ya. Enaknya tamat di bab berapa, nih?
Di Rumah Sakit, Najla tampak tegang. Ternyata ia pun baru saja bertemu dengan dua orang polisi yang datang untuk bertemu dengan Bramantya namun ia tahan.
"Tolong, Pak, suami saya masih belum pulih. Nanti saya akan bicarakan pelan-pelan dengan dia setelah keadaannya membaik. Dia bukan orang yang menghindar dari tanggung jawab, saya berani jamin. Bahkan, kalau Bapak masih mencurigai suami saya sebagai pelaku peracunan atas Lena, istri keduanya, silakan buatkan surat penahanan kota agar Bapak bisa menahannya kalau ia kabur – yang sebenarnya nggak akan mungkin terjadi."
Ia melirik ke arah Bramantya yang tampak masih lemah. Rasa bersalah semakin menggerogoti hati Najla. Apa jadinya kalau tuduhan itu tak bisa dibuktikan sebagai fitnah atas Bramantya? Apalagi polisi sempat menjelaskan bahwa semua bukti mengarah ke Bramantya.
Najla teringat Rahma. Ya, Rahma semestinya bisa menjadi alibi bagi Bramantya. Namun ponselnya kini sulit dihubungi. Najla pun berusaha menelepon Erma.
***
Di rumah yang Bramantya sediakan untuk Rahma dan kedua orang tuanya, Erma sedang menangis-nangis sendiri. Barusan saja Bahrun berangkat ke Kantor Polisi menyusul Rahma. Ponselnya berbunyi. Panggilan dari Najla. Rahma enggan menerima. Najla adalah awal mula kekacauan ini.
Namun, panggilan itu tak kunjung berhenti. Dengan kesal Erma menjawab, "Apa, Bu Najla?!"
Di tempatnya, Najla terkejut mendengar suara Erma yang tidak ramah, tidak seperti biasanya. "Assalamu'alaikum," sapanya pelan dan takut-takut.
Erma menghela napas dan menjawab lemas, "Wa'alaikum salam."
"Bu, Rahma ada?"
Ingin rasanya Erma memaki dan berseru, gara-gara kamu, anak saya dibawa Polisi! Tapi, apakah ada gunanya?
"Rahma nggak ada," jawab Erma singkat.
"Ke mana, Bu? Dia baik-baik aja, kan?"
Erma terisak.
"Bu?" desak Najla. Ia tahu ada yang tidak beres.
"Rahma dibawa Polisi, Bu Najla! Dibawa Polisi!!! Sekarang dia di Kantor Polisi, ayahnya lagi nyusul ke sana."
"Ya Allah," gumam Najla lemas.
Najla tak punya pilihan. Ia harus meninggalkan Bramantya dan menyusul Rahma ke Kantor Polisi. Ia harus tahu atas tuduhan apa Rahma dibawa ke sana karena pasti berhubungan dengan tuduhan kepada Bramantya. Erma memberitahu ke Kantor Polisi mana Rahma dibawa dan Najla pun bergegas ke sana. Ia titipkan Bramantya yang masih terlelap kepada perawat.
***
Tisa dan Teguh duduk berhadapan di taman rumah sakit.
"Maafin aku, Sa."
Tisa menahan air matanya sekuat tenaga. "Bahkan setelah semua yang aku lakukan buat kamu, kamu masih hanya berharap Rahma yang ada di sisi kamu saat ini?"
Teguh tak menjawab.
"Aku benci sama kamu, Guh. Bukan karena kamu nggak mau nerima aku. Tapi untuk kalimat kamu. Berkali-kali kamu bilang, umurku nggak akan lama lagi. Kamu bukan Tuhan! Kamu hanya cari alasan, kan? Tadi kamu bilang, kamu ingin hari-hari terakhir kamu dihabiskan bersama Rahma. Kamu egois, Guh. Kamu hanya sayang sama diri kamu sendiri."
"Terserah kamu mau bilang apa, Sa."
"Ya, memang terserah aku! Guh, dengar, ya. Kamu nggak mau menyakiti perasaan ibu kamu, lalu kamu berlindung di balik kelakukan sok pahlawan kamu dengan menyuruh bosnya Rahma menggantikan kamu menikahi dia. Kamu bebas dari tanggung jawab tapi kamu masih terus mengharapkan Rahma."
"Nggak gitu, Sa, yang ada di kepalaku."
"Gitu! Paling nggak, di mata aku ya begitu." Mata Tisa menyalang emosi. "Sekarang kamu pingin Rahma menemani kamu dan meninggalkan suaminya. Kamu gunakan penyakit kamu untuk melakukan emotional blackmailing ke ibu kamu. Kamu yakin, ibu kamu yang menyayangi kamu akan meluluskan keinginan kamu."
Teguh tertunduk.
"Dan bodohnya aku, aku tetap ingin bertahan di sisi kamu, Guh. Harusnya aku tinggalin aja kamu, tapi aku nggak bisa."
Teguh menatap Tisa. Air mata akhirnya tumpah juga ke pipi gadis yang selalu hadir di sisinya setiap hari, menemaninya pada semua tindakan di rumah sakit ini. Bohong jika Teguh tak merasakan apapun. Tapi dia bukan Rahma. Ya, itu dia masalahnya, dia bukan Rahma.
***
Najla duduk di ruang tunggu bersama Bahrun sementara Rahma masih di dalam bersama penyidik.
"Bu Najla tau," ucap Bahrun, "Rahma semalam menemui Nak Bram karena mau minta cerai?"
Najla terkesiap. Jadi, semalam, mereka bertemu untuk saling mengucapkan perpisahan? Tapi kenapa aku merasa, justru peristiwa ini akan semakin menyatukan mereka?
Najla menggeleng. "Nggak tau, Pak."
"Penyesalan terbesar dalam hidup saya ada dua. Pertama saat saya tidak melarang kedekatan Rahma dengan Teguh padahal saya tahu itu salah, terlebih ibu Teguh tidak menyukai Rahma. Tapi saya tidak tega jika saya menjadi penghancur perasaan anak saya satu-satunya."
Bahrun menghela napas.
"Kedua saat saya menikahkan Rahma dengan Nak Bram."
Najla tertunduk.
"Bu, setiap kita melakukan kesalahan, sebenarnya dalam hati kecil kita, kita tahu itu salah. Namun, selalu kita abaikan bisikan hati kecil itu, karena kita terlalu mengikuti hawa nafsu dan mementingkan dunia. Saya takut istri saya shocked dan malu diomongin orang kalau sampai Rahma tidak jadi menikah padahal kami sudah mengundang banyak tamu. Padahal, peduli amat omongan orang. Harusnya saya nggak mengorbankan masa depan anak saya karena omongan orang."
"Maafin saya, Pak," ucap Najla lirih.
Bahrun menatap ke pintu di mana tadi penyidik membawa Rahma masuk. "Saya bukan lagi menyalahkan Bu Najla, tapi diri saya sendiri. Bagaimana seorang ayah bisa menjebloskan anaknya dalam kesusahan bahkan sampai harus jadi tertuduh kasus kejahatan hingga dibawa ke Kantor Polisi seperti tadi dan diselidiki seperti pesakitan di ruangan itu."
Najla ikut menatap ruangan tersebut. Hatinya semakin tak keruan. Apalagi, cukup lama Rahma di dalam sana. Meskipun setelah obrolan tadi Najla dan Bahrun sama-sama menanti dalam keheningan namun setiap menit yang berlalu terasa seperti tekanan bagi Najla. Bahkan, Najla meminum obat anti depresinya karena ia takut collapse dan pada akhirnya tak bisa membantu Rahma.
Setelah dua jam Rahma di dalam, akhirnya pintu dibuka. Rahma muncul di sana dengan mata sembap. Tak dapat menahan diri lagi, Najla menghambur dan memeluk Rahma. Selama beberapa saat mereka saling bertangisan di sana.
Bahrun memalingkan wajah. Hatinya hancur melebihi kehancuran yang sudah terjadi pada hidup putri semata wayangnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
ISTRI KETIGA
RomantikTAMAT! Terima kasih sudah sudi mengikuti perjalanan Rahma, Bramantya, Teguh, dan Najla. Terima kasih untuk yang sudah subscribe dan kasih bintang. Semoga Kakak-kakak selalu bahagia. Jangan lupa ikuti sequel-nya, BUKAN ISTRI KETIGA. SEGERA! *** Rahma...