2. Tuntutan Ayah di Hari Idul Fitri yang Gerimis

6.8K 253 0
                                    


Adzan Subuh berkumandang, diikuti lantunan takbir, terdengar jelas dari dalam kamar Rahma. Hati Rahma berbunga-bunga. Ia selalu menikmati suasana Idul Fitri. Semua bersuka cita, semua bahagia, seiring dengan lantunan takbir yang saling bersahutan mengagungkan kebesaran-Nya.

Rahma pun segera melaksanakan kewajibannya ke hadapan Sang Ilahi, bersujud khusyuk, dalam balutan mukena cantik berwarna dasar broken white dengan hiasan bebungaan berwarna baby pink dan rose pink, yang dipadukan dengan kain bawahan berwarna rose pink dengan polkadot kecil berwarna putih. Persis mukena yang membuatnya segera jatuh cinta saat melihatnya di mall seminggu silam ketika berbuka puasa bersama Teguh dan teman-teman SMP mereka lainnya.

Teguh mensejajari Rahma. "Kamu suka?"

"Hehe. Nggak juga." Rahma menjawab dengan sedikit dusta, karena sebenarnya mukena seperti itu adalah mukena yang ia idamkan.

Teguh hanya manggut-manggut, lalu mereka berlalu, menyusul teman-teman SMP mereka yang sudah berpindah ke sisi lain mall.

Namun semalam, persis setelah berbuka, dan saat takbir mulai dilantunkan dari masjid yang hanya berjarak sekitar tigaratus meter dari rumah Rahma, Teguh mengantarkan mukena itu untuk Rahma. Pria itu bahkan belum pulang ke rumah, belum membatalkan puasanya, namun memilih hadir di hadapan Rahma untuk memberikan langsung hadiah untuk perempuan yang tak lama lagi akan menjadi kekasihnya.

"Apa ini?" tanya Rahma saat menerima paper bag baby pink yang tampak begitu manis.

Teguh tersenyum melihat raut bahagia di wajah Rahma. "Nanti aja kamu buka, ya? Aku mau pulang dulu. Aku belum membatalkan puasa."

"Batalin di sini aja," pinta Rahma.

Teguh menggeleng. "Jangan. Aku mau cepat-cepat pulang, mau kasih hal yang sama juga untuk Ibu." Teguh menoleh ke motornya, tampak di sana tersangkut paper bag berwarna coklat. "Aku pulang dulu, ya? Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikum salam." Rahma tersenyum haru melepas Teguh yang melaju dengan sepeda motornya.

Rahma buru-buru masuk kamar dan membuka hadiah dari pria yang sejak SMP sudah mengisi hatinya. Masya Allah. Rahma berseru bahagia demi melihat mukena yang ia idamkan namun tak sanggup ia beli karena harganya dua kali lipat dari harga mukena yang biasa ia miliki. Ternyata Teguh begitu perhatian, pengertian bahwa Rahma hanya berdusta saat mengatakan tidak menyukai mukena itu. Teguh begitu ingin membahagiakannya. Dan yang membuat Rahma semakin haru, Teguh membelikan hal yang sama untuk ibunya. Kata orang, kualitas seorang laki-laki jika kelak menjadi suami bisa dilihat dari bagaimana ia memperlakukan ibunya. Dan Rahma merasa telah memilih laki-laki yang tepat.

Senyuman kembali merekah di bibir Rahma sembari melipat mukena yang baru saja ia gunakan untuk sholat Subuh. Tak apalah tak usah dicuci dulu, takut tidak kering jika semalam ia cuci. Ia ingin membahagiakan Teguh. Ia akan menggunakan mukena tersebut untuk sholat Ied. Biasanya mereka sholat di masjid yang sama karena rumah Teguh hanya berjarak satu kilometer dari rumah Rahma.

Selepas melipat mukena, Rahma segera melangkah ke dapur. Ia harus menghangatkan sayur sambal godok yang ia buat bersama mamahnya kemarin. Juga semur tahu kesukaan Teguh. Biasanya Teguh akan main ke rumah sekitar setelah sholat Dzuhur dan akan makan bersama dengan keluarga Rahma. Ini sudah berlangsung selama empat tahun terakhir, sejak Ayah Rahma secara eksplisit menyetujui hubungan mereka. Padahal mereka sudah bersama sejak Rahma masih berusia empatbelas tahun, saat Rahma menjadi anggota PMR di sekolah, dan Teguh bertindak sebagai Ketua PMR yang melantiknya. Mereka bukan pacaran karena Teguh tak pernah menembaknya, tapi Teguh hanya pernah berkata, "Kamu jangan sama siapa-siapa, ya? Kalau aku sudah dewasa nanti, aku akan melamar kamu." Rahma tersipu, tak menjawab, tapi komitmen itu secara otomatis telah terbangun di antara mereka.

ISTRI KETIGATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang