Andi tampak sedang menunggu seseorang di kafe tak jauh dari apotek. Pekerjaannya sudah selesai setengah jam yang lalu walaupun ini masih jam lima sore. Mira yang bertugas sampai jam delapan nanti. Andi memeriksa jam di ponselnya. Semestinya Lena sudah tiba lima menit sebelum ini. Kalau bukan karena Lena kekeuh, sudah ia tinggal pulang perempuan itu sejak tadi.
Ia sudah menjelaskan lewat telepon kepada Lena bahwa saingannya akan menikah besok, Lena tak perlu khawatir lagi. Tapi Lena masih ingin memastikan dengan meminta undangan pernikahan Rahma.
"Gue mau lihat sendiri undangannya, Ndi!" kilahnya.
Tapi entah mengapa, Andi merasa Lena merencanakan sesuatu. Biarlah, apapun yang Lena mau lakukan, itu bukan urusannya. Yang penting, Lena janji, ia akan memaksa Bramantya menaikkan posisi Andi di apotek dan menggeser Bu Yana yang semakin sakit-sakitan.
Andi melirik pintu masuk. Tampak Lena sudah berdiri di sana, mencarinya. Andi mengangkat tangan agar Lena melihatnya.
Lena pun bergegas menghampiri Andi. "Mana undangannya?"
"Basa-basi dikit kek, Bu. Hai, apa kabar?"
Lena memutar bola mata. "Basa-basi? Gue sama elo? Kita kenal udah sepuluh tahun, Ndi. Masih perlu basa-basi?"
"Kadang gue kangen sama elo yang dulu. Waktu kita masih SMA. Waktu—"
"Stop!" Lena menggeleng. "Lo-gue ... udah nggak mungkin. Oke? Jangan berharap."
Andi terkekeh. Lihat aja, Len, kalau lo sampai dilepeh Bramantya, lo pasti lari ke gue.
"Mana undangannya?!" Lena mendesak.
Andi mengambil undangan itu dari tas dan menyerahkannya kepada Lena. Lena segera merebutnya dan membaca dengan saksama.
"Acaranya di rumahnya?" tanya Lena sambil terus memerhatikan undangan itu.
Undangan murah seribuan, pikir Lena. Nggak level sama Mas Bram.
"Nggak tau." Andi mengangkat bahu, lalu menyesap kopinya. "Gue nggak berniat datang."
Lena mengernyit, menatap mantan sekaligus sahabatnya itu. Andi benar-benar benci sama perempuan itu gara-gara gagal naik jabatan.
"Nggak usah benci gitu. Tenang aja. Bu Yana palingan juga bentar lagi lewat. Penyakitnya berat, kan? Pasti elo yang diangkat megang cabang lo sekarang ini kalo Bu Yana nggak ada."
Andi mencibir. "Harusnya lo bisa minta Bramantya angkat gue. Ada ataupun nggak ada Bu Yana. Gue udah kasih undangan itu ke elo. Sekarang tugas lo adalah memastikan gue naik jabatan."
"Lo minta bayaran atas undangan ini?" Lena kaget.
"Lho? Iya, dong! Coba, bayangin. Dia memang udah nikah. Tapi kalau memang ada cinta di hati Bramantya buat dia, plus kekayaan Bramantya yang sebanyak itu, dibandingin suaminya yang bikin acara resepsi di gedung aja nggak sanggup, kira-kira menurut lo, apa dia nggak lebih milih suami lo ketimbang suaminya sendiri? Dan status dia yang sudah jadi istri malah akan bikin orang nggak curiga kalau dia selingkuh sama suami lo, kan?"
Lena terkesiap.
"Kalau gue jadi elo, besok gue akan datang. Lo harus tunjukin ke dia, bahwa lo istri Bramantya, dan dia sebaiknya nggak main-main sama elo."
Lena mengalihkan pandangan dari Andi, kembali menatap undangan itu. Dahinya berkerut sangat dalam. Andi benar. Andi selalu benar!
***
Malam nanti adalah malam yang penting buat Bahrun sekeluarga. Sama pentingnya dengan pernikahan putri semata wayang Bahrun yang akan dilaksanakan keesokan harinya. Pengajian untuk mendoakan kelancaran acara besok akan diadakan ba'da Isya. Bahrun dan Erma mengundang tetangga dan teman taklim yang cukup dekat dengan keluarga mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
ISTRI KETIGA
RomanceTAMAT! Terima kasih sudah sudi mengikuti perjalanan Rahma, Bramantya, Teguh, dan Najla. Terima kasih untuk yang sudah subscribe dan kasih bintang. Semoga Kakak-kakak selalu bahagia. Jangan lupa ikuti sequel-nya, BUKAN ISTRI KETIGA. SEGERA! *** Rahma...