33. Tak Mau Jatuh Cinta

2.3K 237 18
                                    


Bramantya bergegas dan di ambang pintu ia melihat Lena sedang memasang wajah sok baik di hadapan Rahma dan kedua orang tuanya.

"Lena!" Dengan lantang, Bramantya memanggil istri keduanya.

Lena, Rahma, Erma, dan Bahrun menoleh kaget. Namun, hanya sesaat wajah Lena tampak terkejut, ia segera menyunggingkan senyum.

"Mas Bram! Kok ke sini? Nggak jadi golf?" Lena menghampiri suaminya dengan langkah santai seakan panggilan yang menggelegar dari Bramantya tadi tak berarti apa-apa.

"Mau apa kamu ke sini?" Bramantya balik bertanya, ketus.

"Mau kenalan sama Rahma."

Bramantya mendelik. "Jangan kamu ganggu Rahma!"

"Tapi, Mas—"

"Jangan kamu ganggu istri saya!" suara Bramantya kembali menggelegar.

Lena terkesiap. Begitu pula Rahma, Erma, dan Bahrun.

Mereka tak sadar, di ambang pintu, sudah ada Najla. Mendengar ucapan Bramantya, Najla tersenyum. Hatinya haru dan hangat. Mas Bram sudah mengakui Rahma sebagai istrinya.

"Ya ampun, Mas, masa aku nggak boleh kenalan. Aku nggak ganggu, kok. Maaf, deh. Lagi mau honeymoon, ya?" dengan manja, Lena mendaratkan pipinya di lengan Bramantya.

Bramantya segera menghindar. "Pulang, Lena. Sebelum saya benar-benar nggak bisa mengontrol emosi lagi."

Lena menghela napas manja, pura-pura ngambek. "Iya, deh. Iya. Aku pulang." Lena berbalik dan mendapati Najla di ambang pintu. "Eh, ada Kak Najla! Tuh, Mas, Kak Najla aja ke sini. Pasti biar akrab sama Rahma. Ya, kan, Kak? Masa aku disuruh pulang, padahal aku pingin kenal lebih jauh sama Rahma." Lena mendekati Najla, menggandeng lengannya. "Maaf, waktu itu aku nggak setuju Kak Najla pingin jadiin Rahma istri ketiga Mas Bram, tapi sekarang aku gapapa, kok. Aku—"

"Berhenti ngoceh kamu, Lena! Stop!" Bramantya menarik lengan Lena ke arah pintu, hendak membawanya keluar, sampai-sampai Najla yang di ambang pintu bergeser ke teras agar mereka bisa keluar. "Pulang! Sekarang!!!"

"Mas, sakit!!!" Lena berusaha melepaskan cengkeraman tangan Bramantya, tapi sulit. "Iya, iya, aku pulang!" Lena menoleh ke arah Rahma dan orang tuanya yang sejak tadi hanya bisa diam dan bingung menyaksikan semua. "Saya duluan, ya, Rahma, Bapak, Ibu! Nanti kapan-kapan main ke rumah saya! Assalamu'alaikum."

Lena akhirnya berhasil melepaskan tangan Bramantya, dan dengan nekat, ia malah mengecup pipi Bramantya. "Sampai ketemu, Mas! Aku masih kangen, lho! Pulang ke rumahku, ya?"

Dengan kesal Bramantya menghapus bekas kecupan Lena dengan punggung tangannya.

Lena sudah masuk mobil dan membuka jendelanya. "Kak Najla, titip Mas Bram!" Lalu dengan agak mengebut, Lena membawa mobilnya pergi dari sana.

Najla menghela napas, antara lega, sekaligus menghalau kesal. Bramantya melirik ke arahnya. Najla berusaha tersenyum dan saat Bramantya mendekatinya, Najla mengusap punggung lelaki itu, menenangkannya. Lalu mereka ke dalam, menemui Rahma, Erma, dan Bahrun yang masih terdiam.

"Maaf, ya, Pak, Bu, tadi Lena berulah." Bramantya tak berani menatap mata Bahrun.

Bramantya pun seorang ayah dan tak sudi jika Icha diperlakukan tak semestinya. Sehingga, ia mengerti betul perasaan Bahrun.

"Gapapa, Pak, bukan salah Bapak." Rahma akhirnya bersuara.

Bramantya mengangkat wajah dan tatapannya bertemu dengan tatapan Rahma. Perempuan ini memang istimewa. Ia seakan terbentuk dari gabungan ketegaran, kesabaran, sekaligus wibawa. Jauh berbeda dengan Lena. Bahkan dengan Najla. Najla terlalu rapuh. Namun, segera ia halau pikiran itu. Apakah adil baginya jika ia membanding-bandingkan mereka bertiga? Apalagi Najla dan Rahma. Kalau Lena, ia tak peduli.

Ditatap Bramantya sedemikian rupa, Rahma menunduk. Najla menyadari semua gerak-gerik suami dan madu barunya. Hatinya berkata, tak perlu waktu lama, kedua insan ini akan segera membuka hati untuk masing-masing.

"Ya sudah, yang penting, sekarang Lena sudah pulang." Najla tersenyum ke arah Erma dan Bahrun. "Bapak dan Bu Erma nginep sini juga aja, ya? Saya minta Bi Iim siapkan kamar satu lagi."

"Nggak usah, Bu Najla, makasih." Bahrun segera menolak.

"Istirahat aja, Pak, sebentar. Besok kalau mau pulang, saya kirim sopir." Najla membujuk pelan. "Mau, ya, Bu Erma?"

Erma segera mengangguk. "Iya, Bu Najla, saya belum mau pulang. Masih malu sama tetangga."

Bahrun menghela napas. "Apa lagi yang bikin malu, Mah? Kan Rahma sudah menikah."

"Tapi bukan sama Teguh. Dan Rahma menjadi—" Erma tak sanggup melanjutkan kalimatnya. Menjadi istri ketiga. Erma baru benar-benar menyadari hinanya posisi itu setelah melihat perlakuan Bramantya kepada Lena. Timbul rasa takut di hatinya, bagaimana jika Bramantya memperlakukan Rahma seperti ia memperlakukan Lena?

"Ya udah, nginep, ya? Sebentar saya ke Bi Iim di belakang." Najla meninggalkan mereka berempat.

Sejujurnya Rahma ingin meminta agar ayah dan mamahnya menginap di kamarnya saja, tapi bagaimanapun, Bramantya adalah suaminya dan kamar itu sepertinya kamar utama. Bagaimana jika ia ingin menginap dan ingin tidur di sana? Sebaiknya Rahma yang menumpang di kamar orang tuanya saja nanti.

Bramantya melirik Rahma. Wajah perempuan itu, jika sedang sendu, tampak lebih anggun. Matanya yang sayu, mungkin berat akibat tangisan sepanjang malam. Hidungnya yang kemerahan, mungkin dengan alasan yang sama. Dan bibirnya yang hampir selalu bergetar, mungkin menahan sedih atau amarah. Semua membuatnya tampak semakin menarik.

Tak sengaja helaan napas keluar dari dada Bramantya, menghambur dari mulutnya. Membuat Rahma, Erma, dan Bahrun menoleh. Bramantya tak enak hati dan tersenyum canggung.

Najla kembali bersama Bi Iim yang segera merapikan sebuah kamar untuk Erma dan Bahrun. Lalu setelah semua beres, Najla pamit pulang.

"Kasihan anak-anak kalau saya kelamaan di sini."

"Aku ikut pulang," terdengar ucap lirih dari bibir Bramantya.

Najla dan Rahma terdiam menatap suami mereka. Bramantya memalingkan wajah. Sebaiknya ia tak berada di dekat Rahma selama istri barunya itu tak menginginkan dirinya. Karena, ia semakin khawatir dengan perasaan yang berkembang di hatinya untuk Rahma. Ia tak mau jatuh cinta. Ia tak ingin ada wanita lain di benaknya selain Najla.

Bahkan Bramantya sengaja menggandeng tangan Najla saat mereka keluar menuju mobil masing-masing.

Rahma, Erma, dan Bahrun memandangi dari ambang pintu. Erma dan Bahrun merasa gundah. Dengan cinta yang begitu besar di hati Bramantya untuk Najla, akankah ada tempat untuk putri kesayangan mereka? Rahma lain lagi, ia lega jika Bramantya dan Najla selalu mesra. Ia tak perlu bertenggang rasa menolak Bramantya. Ia tak mau jatuh cinta. Trauma akan hubungannya dengan Teguh membuat hatinya kebas dan tak bisa merasa.

ISTRI KETIGATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang