13. Pecat Cewek Itu!

2.4K 213 5
                                    


Rahma buru-buru menghampiri Teguh dan duduk di sebelahnya. Apapun yang terjadi, ia harus membantu Teguh menghadapi Ayah dan Mamah.

Bahrun mengernyit. "Kok Neng duduk di situ?" Ia tak nyaman Rahma duduk bersebelahan dengan Teguh.

"Neng juga mau dengar jawaban Kak Teguh, Yah." Rahma berdalih. Ia melirik ke arah Teguh. Mereka saling tatap sejenak.

Teguh segera menyadari, Rahma sudah tidak kesal lagi kepadanya. Rahma berada di pihaknya. Teguh lega, senyumnya terkembang.

"Ehem!" Bahrun sengaja berdehem untuk mengalihkan perhatian dua sejoli di hadapannya. "Jadi, apa pendapat ibu kamu soal rencana pernikahan kalian?"

Dengan mantap Teguh menjawab, "Ibu setuju, Yah."

Rahma terkejut. Ia tak menyangka Ibu Teguh setuju. Kalau setuju, kenapa Teguh butuh waktu lama untuk memberi tahu dirinya?

Ternyata Bahrun juga sepemikiran. "Kalau Ibu kamu setuju sejak awal, kok kamu nggak kasih kabar, Guh? Kami di sini menunggu-nunggu, lho!"

"Maaf, Ayah, kemarin-kemarin belum ada waktunya. Saya sibuk di kantor dan di kampus."

Bahrun tampaknya percaya. Erma juga tersenyum lega. Tapi Rahma merasakan ada keanehan. Belum sempat ia mempertanyakan lebih lanjut, Bahrun sudah menembak Teguh lagi.

"Kapan ibumu akan ke sini untuk lamaran?"

Teguh terdiam sejenak, terlihat seperti agak kebingungan akan menjawab apa. Rahma kini yakin, Teguh tidak jujur.

"Begini, Ayah, saya tanyakan dulu ke Ibu, ya?"

"Ya udah, tapi jangan lama-lama, ya?" pinta Erma. "Kalau bisa, pernikahan kalian dilaksanakan sebelum Idul Adha."

Teguh menelan ludah. Terkejut. Otaknya segera menghitung. Satu setengah bulan lagi sudah Idul Adha. Artinya, pernikahan harus dilaksanakan dalam waktu sebulan dari sekarang. Teguh merasakan tatapan tak percaya Rahma. Tapi ia tak boleh goyah. Ia tak ingin kehilangan Rahma.

Sepuluh tahun ia menjaga Rahma, tak pernah menyentuhnya, selalu menghargainya sebagai perempuan yang sangat ia cintai. Ia ingin memiliki Rahma seutuhnya. Tak akan ia izinkan laki-laki manapun mendampingi Rahma, bahkan sebatas tuduhan sekalipun. Karenanya, ia marah sekali mendengar ucapan istri bos Rahma tadi siang. Ia tak terima.

Setelah berbasa-basi sesaat dengan Bahrun dan Erma, Teguh pamit. Rahma mengantar ke luar rumah. Bahkan Rahma secara khusus meminta izin kepada Bahrun untuk mengantar Teguh ke depan gang. Untung saja kali ini Bahrun mengizinkan. Rahma perlu bicara berdua saja dengan Teguh.

Dalam perjalanan menuju ujung gang, Teguh mendorong motornya, Rahma melangkah di sebelahnya, Teguh meminta maaf.

"Aku tadi nggak bermaksud menuduh kamu, Rahma."

Rahma menghela napas. "Iya, aku udah maafin kok, Kak. Tapi soal barusan. Memangnya Ibu benar-benar sudah setuju kita menikah dalam waktu dekat?"

Teguh dilema. Haruskah ia jujur kepada Rahma? Tapi kalau ia katakan yang sebenarnya, bahwa Ibu masih menginginkan Teguh selesai kuliah S1 dulu, Rahma akan sangat marah dan kecewa karena tadi ayah dan mamahnya Teguh bohongi.

"Kak? Jawab!" Rahma menegur tegas.

"Sabar, dong. Aku ngos-ngosan, nih, dorong motor."

Rahma menoleh. Memang Teguh tampak terengah-engah. Rahma jadi merasa iba.

Di ujung gang, Teguh berhenti dan memasang standar motornya. Kini ia dan Rahma berhadap-hadapan, dengan motor Teguh di antara mereka.

"Kita akan menikah sebelum Idul Adha. Aku janji." Teguh mengucapkan kalimatnya dengan tegas.

"Soal Ibu—"

Teguh memotong, "Soal Ibu itu urusanku. Ibu akan merestui kita. Aku janji juga soal itu."

Rahma mencari keraguan di mata Teguh. Dan kali ini ia tak menemukannya.

"Oke, aku pegang kata-kata Kak Teguh. Tolong jangan ingkar janji, atau selamanya aku nggak akan percaya lagi sama Kak Teguh."

Teguh mengangguk penuh keyakinan di hadapan Rahma, padahal hatinya tak keruan. Ia telah berbohong. Berbohong parah. Hatinya tahu, Ibu takkan setuju dan akan sangat menentang rencana ini. Ia beristighfar dalam hening, memohon ampun dari Sang Maha Kuasa atas kebohongannya. Ia tak suka berbohong seperti ini. Terlebih kepada Rahma yang sangat ia sayangi.

***

Najla baru saja menidurkan Icha. Demamnya sudah turun, tapi ia masih beberapa kali terbatuk-batuk. Tubuh Najla sakit semua. Ia selalu begitu. Setiap kali anaknya sakit, ia merasakan sakit yang serupa. Ia keluar kamar, membiarkan pintu kamar Icha tetap terbuka.

Tampak Bramantya tertidur di sofa. Najla baru saja hendak menghampiri suaminya saat ponselnya bergetar. Najla buru-buru cek ponselnya. Dari Lena. Najla menghela napas. Mau apa lagi madunya yang satu ini?

"Assalamu'alaikum," sapa Najla.

"Wa'alaikum salam," Lena menjawab sekenanya sambil duduk di sofa di depan televisi, lalu merapikan earphone-nya. "Kak, udah tau Mas Bram dekat sama pegawainya?"

"Astaghfirullahal'adzim." Najla terkejut dan refleks menoleh ke Bramantya yang masih terpejam, lalu buru-buru ke halaman belakang dan menutup pintu aksesnya yang terbuat dari kaca. "Kamu ngomong apa, sih, Lena?"

"Nah, nggak percaya, kan? Aku aja kaget." Lalu dengan sok melas, Lena berbicara dengan nada yang mengibakan. "Kak, aku tau, Mas Bram menikahi aku dengan alasan mau membantu aku, karena Kak Najla yang menyuruh. Ya, kan?"

Najla terdiam. Karena hati kecilnya tak henti-hentinya menyesali kebodohannya itu.

"Kak, perempuan ini baru saja sebentar kerja di apotek Mas Bram, sekarang sudah disuruh pegang cabang baru. Bayangkan, Kak. Dia hanya lulusan SMK. Lain, ya, kalau dia lulusan S1 Farmasi. Masuk akal. Ini hanya SMK! Pasti ada apa-apanya di antara mereka!"

"Kamu jangan menuduh Mas Bram sembarangan, Lena. Suami kita itu bukan laki-laki yang genit!" Najla membela Bramantya yang ia kenal betul luar dalam.

"Tapi kalau dipepet terus, mana tahan, Kak?" tukas Lena.

Najla terdiam dan membatin, ya seperti dulu kamu memepet suamiku terus.

"Kakak tolong urus ini. Mas Bram nggak akan mau dengerin aku. Kalau Kak Najla yang ngomong, dia pasti mau nurut. Suruh pecat cewek itu, Kak. Aku nggak mau Mas Bram mengambil istri ketiga. Aku hanya mau berbagi Mas Bram dengan Kak Najla!"

Najla menghela napas. Tentu ia tak mau percaya begitu saja ucapan Lena. Ia akan menyelidiki sendiri siapa perempuan yang Lena maksud.

"Kak, kok diam aja?" Lena di ujung sana protes.

"Iya, nanti aku cek."

"Namanya Rahma. Bu Yana akrab sama dia. Kakak nggak usah tanya-tanya Bu Yana. Pasti dia akan bela perempuan itu. Sepertinya mereka bersekongkol." Lena berdiri, mematikan televisi dengan remote di tangannya. "Pokoknya, cewek itu harus segera enyah, kalau Kak Najla nggak mau rumah tangga kita berantakan." Lena mematikan sambungan telepon.

Najla terduduk di kursi rotak di teras belakang rumahnya. Lena pasti sudah tahu dari Mas Bram, Icha sedang sakit, kenapa dia masih juga mengganggu dengan pembicaraan konyol barusan? Najla menghela napas dalam.

Ketika itu Bramantya membuka pintu kaca di belakang Najla. "Kamu habis teleponan sama siapa?"

Najla menggeleng. "Enggak. Bukan siapa-siapa. Hanya ibu dari teman sekelas Icha yang tanya kabar Icha gimana karena tadi siang dia lihat Icha lemas dan demam."

"Ooh. Icha-nya mana? Aku ketiduran barusan."

Najla mendekati Bramantya. "Udah tidur. Di kamarnya."

Bramantya mengangguk dan tersenyum lega, lalu melangkah menuju kamar Icha dan mengintip ke dalamnya. Najla berdiri di belakangnya. Mereka memandangi wajah Icha yang tertidur lelap. Tangan Bramantya melingkar di bahu Najla. Najla pun menyandarkan kepalanya pada lengan Bramantya.

Damai.

Najla sengaja tak memberi tahu Bramantya soal aduan Lena barusan. Ia tahu, apapun yang datang dari Lena hanya akan merusak kedamaiannya dengan Bramantya. Ia takkan mengizinkan lagi Lena mengacaukan hidupnya untuk kesekian kalinya. Tidak akan.

ISTRI KETIGATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang