66. Tak Akan Meninggalkan

1.5K 193 21
                                    

Terima kasih sudah lanjut membaca ISTRI KETIGA. 

Rahma sudah pasrah dengan apa yang terjadi. Kalau memang ia harus berakhir di sini, ia akan menerima takdirnya. Namun tiba-tiba terdengar suara orang ramai dari arah depan bungalow.

"Ambil APAR di kantor! Cepat!"

"Telepon pemadam!"

"Ambulans, telepon ambulans!"

"Ada korban!!! Cepat paramedis panggil ke sini!"

Rahma berusaha melihat namun kobaran si jago merah semakin besar dan hampir menyambar wajahnya. Rahma refleks berjongkok dan meringkuk, membelakangi api, berusaha menjauh dari hawa panas yang mulai terasa pedih di kulitnya.

Rahma tidak tahu, pada saat yang sama, seseorang telah mengambil alih Lena dari tangan Bramantya dan tanpa pikir panjang lagi Bramantya mencari celah di antara kobaran api dan orang-orang berteriak histeris.

"Jangan, Pak!"

Namun Bramantya sudah menembus celah tersebut dan tiba-tiba Rahma merasakan ada yang merangkulnya, melindunginya, seakan menjadi tameng baginya dari jilatan api.

"Mas Bramantya...?" panggil Rahma lirih.

"Sshh... iya, Rahma, ini aku."

Rahma sontak berbalik dan memeluk Bramantya. Entah mengapa air matanya menetes. Mungkin karena haru, mungkin karena lega, mungkin karena khawatir akan suaminya. Sementara itu, Bramantya membalas pelukan Rahma dengan sangat erat, sambil menepuk dan mengelus punggung Rahma untuk menenangkannya sementara Rahma membenamkan wajahnya di dada Bramantya.

Kenyamanan pelukan itu membuat Rahma melupakan kobaran api, melupakan Lena yang keadaannya sempat membuatnya sangat ketakutan, melupakan segalanya.

Hanya satu yang Rahma sadari, ia tak ingin lepas dari pelukan Bramantya. Ia tak ingin pisah dari Bramantya. Ia ingin terus menjadi istri Bramantya.

Rahma tidak tahu, bahwa Bramantya pun menyadari hal yang sama. Ia tak mungkin bisa melepaskan Rahma.

Saat mereka sedang hanyut dengan perasaan masing-masing, bahkan hingga Bramantya tak menyadari api yang mulai menyambar-nyambar di belakangnya, tiba-tiba terdengar suara.

"Mana APAR-nya?! Cepet!!!"

"Ayo! Semprotin! Cepet! Bisa kebakar itu orang!!!"

"Tunggu! Jangan disemprotin ke mereka! Bahaya buat mereka kalau mengirup isi tabung APAR! Isinya itu CO2!"

"Ya trus gimana, dong?!"

Suasana panik menyelimuti semua yang ada di sana. Terutama Rahma dan Bramantya. Hati keduanya berbisik, ya Allah, selamatkanlah, suamiku; ya Allah, selamatkanlah istriku.

***

Fadhil sudah di ruang IGD. Dengan tangan gemetar, di depan IGD, Najla berusaha menghubungi Lena dan Bramantya, namun tak ada hasil.

Dokter menghampiri Najla.

"Gimana kondisi anak saya, Dok?" tanya Najla.

"Kurang bagus, Bu. Banyak berdoa saja. Sepertinya anak Ibu sudah mengalami dehidrasi sejak beberapa jam yang lalu."

"Tolong selamatkan anak saya, Dok."

"Kami akan berusaha semaksimal mungkin."

Setelah Dokter masuk kembali ke ruang IGD, Najla merasakan sekujur tubuhnya kesakitan. Ia terus menguatkan diri, merapal semua doa yang ia bisa. Untuk Fadhil, untuk dirinya.

Najla tidak tahu, ada yang juga sedang membutuhkan doa tulusnya, Bramantya, suaminya terkasih.

***

Bramantya melihat sekeliling. Sudah tidak ada celah lagi. Di belakang mereka adalah dinding yang membatasi halaman belakang bungalow tempat mereka berada dan bungalow sebelah.

Tiba-tiba Bramantya melepaskan pelukannya dan berjongkok di depan dinding tersebut. "Naik, Rahma!"

Rahma terkejut dan menggeleng. "Nggak, Mas! Kalau aku bisa naik, nanti Mas gimana naiknya?"

Bramantya tak punya jawaban untuk pertanyaan Rahma barusan, namun ia tak peduli. Rahma harus selamat. Rahma harus baik-baik saja.

Bramantya refleks membentak. "Naik kataku!"

JRENG! Rahma terkesiap. Bramantya menoleh dengan tatapan yang Rahma tahu adalah tatapan yang menyiratkan amarah, yang seakan berkata, jangan membantah!

"Cepat, Rahma!"

Rahma menatap dinding tersebut. Memang tidak terlalu tinggi tapi tidak pendek juga. Bramantya tak sabar dan menarik tangan Rahma sehingga Rahma berdiri di belakangnya.

"Aku sayang kamu, Rahma," ujar Bramantya lirih. "Kalau kamu juga sayang aku, buktikan dengan naik ke atas punggungku dan biarkan aku menyelamatkan kamu."

Tutur Bramantya seperti menyihir Rahma untuk membuktikan rasa sayangnya dan Rahma pun menaiki punggung Bramantya. Bramantya memejamkan mata dan menghela napas sangat lega. Setelah Rahma di atas punggungnya, Bramantya perlahan berdiri agar Rahma bisa meraih permukaan dinding pemisah tersebut.

Dengan susah payah Rahma meraihnya dan ia mulai sedikit tergantung dengan tangan berpegangan pada permukaan dinding. Jantungnya berdegup kencang. Namun Bramantya lagi-lagi menjadi pelindungnya, memegangi kedua kakinya sehingga Rahma bisa naik ke permukaan dinding.

Pada saat yang sama, api menyambar dinding dan hampir mengenai Bramantya. Rahma sontak berteriak.

"MAS!!!" Rahma segera menjulurkan tangan. "Cepet, Mas!!!"

Bramantya menoleh ke belakang, ke arah api, lalu ke Rahma lagi. Ia berpikir keras. Kalau aku meraih tangan Rahma, bisakah dia bertahan di atas? Bagaimana kalau dia malah jatuh?

"MAS!!!" pangil Rahma lagi. Air mata sudah menetes di pipinya. Ia ketakutan setengah mati.

"Kamu lompat ke bawah sana! Jangan di atas terus! Bahaya!"

Rahma terbelalak. "Mas juga bahaya kalau tetap di sana!" Rahma memutuskan. "Kalau Mas nggak mau meraih tangan aku, aku akan lompat balik ke Mas! Aku nggak akan meninggalkan Mas sendiri!"

Air mata menetes di pipi Bramantya. Rahma nggak akan meninggalkan aku sendiri. Bramantya memejamkan mata, setetes air mata jatuh lagi di pipinya. Aku juga nggak boleh menyerah dan meninggalkan Rahma sendiri!

Bramantya meraih tangan Rahma. Pada saat yang sama, terdengar suara sirine pemadam kebakaran tiba. Rahma dan Bramantya saling pandang. Bramantya menoleh ke belakang untuk memastikan. Namun pada saat yang sama, api menyambar ke wajahnya dan Bramantya sangat terkejut sehingga ia limbung dan terjatuh ke belakang.

Rahma berteriak histeris. "MAS BRAMANTYAAAAA!!!"

Bramantya tergeletak di bawah sana, tak sadarkan diri.

NOTE: APAR (Alat Pemadam Api Ringan)

ISTRI KETIGATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang