Rahma hanya terdiam sesaat dan kemudian tersentak, teringat akan keberadaan Teguh. Teguh pasti mendengar ucapan Lena.
Rahma menoleh ke arah Teguh. “Kak Teguh.”
Bu Yana menoleh. Teguh maju mendekat.
“Kenalkan, Bu. Ini Kak Teguh. Kak Teguh, ini Bu Yana, kepala apotek di sini.” Rahma memperkenalkan mereka.
Teguh mengangguk sopan. “Saya Teguh, calon suami Rahma.”
Rahma sempat terbelalak mendengar ucapan Teguh. Teguh menoleh ke arah Rahma dan tersenyum. Senyum penuh arti.
“Bu, saya boleh pinjam Rahma sebentar? Ada yang perlu saya bicarakan dengan Rahma.”
“Tapi, Kak, ini lagi sibuk banget. Hanya ada aku, Bu Yana, dan satu staf di belakang yang lagi istirahat.” Rahma buru-buru menolak, merasa tak enak jika harus meninggalkan Bu Yana dan Uli, staf apotek yang baru lulus SMK itu.
“Nggak apa-apa, Rahma. Saya bisa tangani. Kamu ikut Teguh dulu aja.” Bu Yana menatap Rahma penuh makna. Bu Yana paham, Teguh pasti ingin menanyakan soal ucapan Lena tadi. Ia saja terkejut, apalagi calon suami Rahma.
“Yuk, Rahma, sebentar aja, kok.” Teguh berjalan lebih dulu keluar dari apotek. Rahma terpaksa mengikuti.
Di depan apotek, Teguh menunjuk ke sebuah kafe kecil di seberang. “Kita ke sana aja, ya?”
Rahma diam. Apakah ia punya pilihan? Rahma sadar betul. Teguh ingin membahas soal ucapan Lena.
Di dalam kafe, Rahma duduk sementara Teguh memesan dua minuman untuk mereka. Teguh duduk di hadapan Rahma, menatap Rahma yang terus menunduk. Rahma menunggu Teguh mengajukan pertanyaan.
“Rahma, kenapa istri bos kamu bilang kamu mau merebut suaminya?”
Nah, kan! Rahma menghela napas.
“Aku juga nggak tau, Kak. Tiba-tiba aja dia datang dan ngomong kayak gitu. Aku juga bingung.”
Teguh terdiam sesaat, seperti berpikir. Rahma juga memilih diam.
“Apakah karena dia mengira ada sesuatu antara kamu dan bos kamu? Seperti pertanyaan Bu Yana tadi. Dia juga bertanya ada apa di antara kamu dan bos kamu, ya, kan?”
Mata Rahma sontak berkaca-kaca. Ucapan Teguh tidak semata mengandung pertanyaan, tapi seperti pernyataan dan tuduhan.
“Menurut Kak Teguh sendiri, ada apa antara aku dan Pak Bram?” Rahma balik bertanya.
Teguh menyesap minumannya hingga setengah. Ia ingin mendinginkan kepalanya dengan es kopi yang lebih banyak es daripada airnya. Lalu ia menatap Rahma.
“Hati kecilku mengatakan, tidak ada hubungan apapun antara kamu dan Pak Bramantya. Tapi harus ada penjelasan atas ucapan istrinya tadi.”
Rahma berdiri. “Kalau begitu, Kak Teguh tanya saja langsung ke Bu Lena. Hanya dia yang tahu, kenapa dia bilang begitu tadi. Maaf, Kak, aku lagi sibuk. Assalamu'alaikum.”
Rahma bergegas pergi dari sana, meninggalkan segelas minuman yang tak ia sentuh sejak tadi. Diam-diam air matanya menetes sembari ia membuka pintu kafe dan setengah berlari menuju apotek. Setelah sepuluh tahun bersama, ini pertikaian pertamanya dengan Teguh. Rahma sedih bukan kepalang.
KAMU SEDANG MEMBACA
ISTRI KETIGA
RomanceTAMAT! Terima kasih sudah sudi mengikuti perjalanan Rahma, Bramantya, Teguh, dan Najla. Terima kasih untuk yang sudah subscribe dan kasih bintang. Semoga Kakak-kakak selalu bahagia. Jangan lupa ikuti sequel-nya, BUKAN ISTRI KETIGA. SEGERA! *** Rahma...