37. Kalau Pak Bramantya Menceraikan Rahma

2.2K 231 22
                                    


Teguh masih terpaku di sana menatap Rahma, perempuan yang selama sepuluh tahun ini ia cintai dengan sepenuh hati.

"Ayah, Mamah." Teguh maju hendak salim, mencium tangan Bahrun dan Erma dengan hormat tapi mereka berdua menepis tangan Teguh. Sejenak, hati Teguh mencelos.

Teguh menoleh ke arah Rahma. Perempuan itu masih menunduk. "Maafin aku, Rahma." Terdengar suara Teguh yang mengucapkan kata maaf dengan sangat lirih. Rahma mengangkat wajah. Tatapan mereka bertemu lagi. Namun kini Teguh melihat air mata menetes di pipinya.

Refleks, Teguh maju. Tangannya terangkat dan terulur. Dorongan untuk menghapus air mata Rahma terasa begitu kuat dalam hatinya. Sampai terdengar suara.

"Jangan sentuh istri saya!"

Teguh berbalik. Bramantya berdiri di sana. Wajahnya tampak gusar. Rahma pun terkejut mendengarnya.

"Mau apa kamu ke sini?" tanya Bramantya sambil melangkah dan berdiri di sebelah Rahma.

"Boleh saya masuk dulu?" Teguh melihat sekeliling. Tampak muncul beberapa tetangga Rahma di sana.

"Nggak!!! Nggak boleh!!!" Erma berteriak kesal. "Apapun yang mau kamu bilang, bilang di sini."

Teguh menatap Rahma, seakan memohon dukungan, tapi perempuan itu menoleh ke arah lain. Ada pedih di hati Teguh. Ia berharap, paling tidak, Rahma mendukungnya. Tekadnya tiba-tiba luntur. Tapi sudah kepalang tanggung. Ia harus menyampaikan maksudnya.

"Ayah, Mamah, Rahma," Teguh sengaja tak menyebut nama Bramantya, "Saya meminta maaf atas kesalahan saya. Saya mengaku, saya salah. Tapi saya akan perbaiki kesalahan saya. Saya akan menikahi Rahma."

Mendengar itu, isakan Rahma semakin kuat dan terdengar jelas. Bramantya menoleh ke arahnya. Sungguh, betapa ia ingin melindungi Rahma, ingin merengkuhnya dalam pelukan dan menenangkannya. Namun ia sudah berjanji takkan menyentuhnya tanpa izin.

"Rahma sudah menikah," ucap Bahrun dingin. "Jadi, sebaiknya kamu pulang."

"Saya paham, tentu saya nggak bisa menikahi perempuan yang sudah menjadi istri orang, tapi kalau Pak Bramantya menceraikan Rahma—"

"Saya nggak akan menceraikan Rahma."

Rahma menoleh kaget mendengar ketegasan dalam suara Bramantya.

"Tolong hormati Ayah dan Mamah Rahma, sebaiknya kamu pulang."

Kini air mata Teguh yang menggenang. "Saya nggak akan pulang kalau bukan Rahma yang menyuruh."

Semua menatap Rahma. Bahkan beberapa tetangga yang muncul di dekat mereka pun tampak penasaran. Apa yang akan Rahma katakan. Semua tahu, Rahma dan Teguh adalah cinta pertama bagi masing-masing. Siapa yang bisa menghapus cinta sebesar itu dengan begitu saja?

***

Tutiek menatap jam dan kini sudah lewat dari jam setengah enam sore. Biasanya Teguh sudah pulang. Hati Tutiek tak keruan. Ia berkali-kali melihat ke luar jendela. Perasaannya tidak enak. Perasaannya mengatakan Teguh ke rumah Rahma.

Ia menelepon ke nomor Teguh. Tidak berdering. Hatinya semakin kesal. Ini tidak boleh dibiarkan!

Tutiek tidak punya nomor telepon Erma. Ia menyesal tak menyalinnya lebih dulu sebelum ia hapus dari ponsel Teguh. Kalau ia ke rumah Rahma tapi ternyata Teguh tidak di sana, ia hanya akan merasa malu. Tutiek memutar otak. Bagaimana caranya ia memastikan Teguh di mana?

Jemari Tutiek menelusuri pesan-pesan di ponselnya dan tiba-tiba muncul di layar group pengajiannya. Ia baru ingat. Nomor Erma pasti ada di sana! Tutiek buru-buru membuka group tersebut dan benar saja, ada nomor Erma.

Persis saat jarinya hendak memencet gambar telepon dan menghubungi Erma, ada peringatan di otaknya. Jangan mempermalukan diri sendiri, Tutiek! Jemari Tutiek urung menelepon Erma. Namun, tepat di atas nama Erma, ada nama Delia. Ya, ia bisa minta tolong Delia. Seingatnya, Teguh sempat menyebut bahwa yang merias Rahma dan menyewakan baju adalah Delia. Tutiek pun menghubunyi Delia.

Di rumahnya, Delia memang sedang terbengong-bengong memandangi baju pengantin Rahma yang baru saja selesai di-laundry saat masuk telepon dari Tutiek. Awalnya Delia malas menerimanya. Sekilas ia tahu bahwa Tutieklah penyebab Teguh tak muncul di hari pernikahannya sendiri. Namun, ia penasaran, mau apa perempuan ini.

"Assalamu'alaikum," sapa Delia dengan suara tak bersahabat.

"Wa'alaikum salam. Bu Delia, saya hanya mau memastikan. Rahma baik-baik aja, kan, setelah nggak jadi nikah sama Teguh?"

Astaghfirullahal'adzim, Delia membatin dalam hati. Bisa-bisanya bertanya seenaknya seperti itu? Emosi dan rasa tidak terima di hatinya membuat Delia menjawab dengan ketus.

"Oh, baik-baik aja, kok, Bu Tutiek. Nggak usah khawatir. Rahma sudah menikah, kok, dengan pengusaha kaya raya. Udah bahagia dia."

Tutiek terkejut, terbelalak.

"Udah, ya, Bu, saya mau beresin baju pengantin Rahma. Ini baru aja balik dari laundry." Delia segera mematikan sambungan telepon sebelum emosinya semakin tak terkendali.

Sementara, Tutiek terbelalak tak percaya.

***

Teguh masih menatap Rahma dengan mata memohon. Lelaki itu tidak tahu, betapa wajah Rahma terasa panas. Ia malu menjadi tontonan seperti ini. Ia juga malu kepada Pak Bramantya, atasan yang terpaksa menikahinya karena permintaan Teguh dan Bu Najla. Ingin rasanya ia memaki Teguh yang telah menempatkannya di posisi sesulit ini.

Dan sekarang Teguh memintanya bercerai dari Bramantya dan menikah dengannya?!

Rahma telah mengambil keputusan. Ini tidak mudah, namun harus dilakukan. Sebesar apapun cintanya kepada Teguh, rasa pedih akibat dihinakan di hari pernikahannya sendiri membuatnya mengambil keputusan ini.

Kaki Rahma bergeser mendekat ke arah Bramantya yang walau sejak tadi berdiri di sebelahnya namun masih berjarak. Kini tak ada lagi jarak di antara mereka. Bramantya agak terkejut dan melirik.

Apa yang akan Rahma lakukan? Bramantya menerka-nerka. Kenapa ia mendekat ke arahku?


* Buat yang penasaran ingin membaca bab selanjutnya, di KBM App sudah tayang bab ke-38.

ISTRI KETIGATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang