4. Mengecewakan yang Tersayang

3.7K 223 1
                                    


Ketegangan masih menguasai Rahma dan Teguh. Wajah Bahrun pun tak kalah tegangnya. Jauh dari kedamaian yang biasanya meliputi aura seorang Bahrun. Di luar, hujan semakin deras. Seakan menambah gentingnya suasana.

Bahrun melanjutkan kalimatnya. "Ayah mau tanya. Kapan kamu akan melamar Rahma?"

Rahma terkejut. Pertanyaan Bahrun begitu gamblang dan apa adanya, tanpa basa-basi. Rahma menoleh ke arah Teguh yang duduk di kursi di sebelah kanannya, berjarak sekitar satu meter dari sofa sangat sederhana tempat ia duduk bersama mamahnya. Teguh juga tampak gugup.

Bahrun tampak masih menunggu karena ia paham Teguh terlihat takut untuk menjawab. Tapi pria hampir paruh baya itu tak berusaha menenangkan calon menantunya, seakan memang sedang mengetes.

Teguh perlahan mulai mengumpulkan kekuatan dan keberanian. "Insya Allah, segera, Ayah."

Segera? Rahma terkejut. Jangan main-main, Kak Teguh, batinnya dalam hati.

"Sesegera apa?" tanya Bahrun tegas.

"Segera setelah saya menyelesaikan pendidikan S1 saya." Teguh menjawab sambil menunduk.

Bahrun dan Erma terkejut. Mereka menatap Rahma, menuntut penjelasan. Rahma juga tertunduk. Bahrun menahan kesal.

"Kok kalian nggak bilang Teguh kuliah lagi?!"

"Maaf, Ayah, saya yang salah memang, nggak bilang ke Ayah, tapi ini permintaan ibu saya. Saya nggak bisa menolak. Dan kebetulan saya ternyata diterima di kelas ekstensi."

Satu sisi Rahma merasa haru karena Teguh membela Rahma dengan mengatakan itu salahnya, tapi saat Teguh membawa-bawa ibunya, Rahma tahu, permasalahan ini akan sangat pelik.

"Tapi, itu artinya kamu dan Rahma nggak bisa menikah dalam waktu dekat?" desak Bahrun.

"Kalau boleh, dua tahun lagi, Ayah, setelah saya selesai."

"Nggak bisa." Walaupun ucapan Bahrun tidak lantang, namun Rahma dan Teguh bisa merasakan ketegasan dari keputusan Ayah barusan. "Dua tahun itu bukan segera, dua tahun itu kelamaan, Teguh. Kalau kamu nggak bisa menikahi Rahma dalam waktu dekat," Bahrun melirik ke arah Rahma, lalu kembali menatap Teguh, "kalian berdua pikir ulang tentang hubungan kalian."

Di luar hujan terhenti. Tiada sisa. Seakan terkejut dengan ucapan Bahrun yang terasa menghujam di jantung Rahma. Dadanya sesak. Emosi menjalar ke matanya yang segera terasa basah. Ia menoleh ke arah Teguh. Pria itu juga terdiam, sangat terkejut.

Lalu Teguh mengangguk. "Baik, Ayah. Nanti coba saya bicarakan hal ini dengan Ibu. Karena memang yang ingin saya menyelesaikan kuliah dulu itu Ibu."

"Ya sudah, bicarakan lagi dengan Ibu dulu aja, Teguh. Mudah-mudahan Ibu mengerti, ya?" Erma kali ini ikut bicara dengan lembut, semacam kode agar Bahrun menghentikan pembahasan ini. "Ayo, dicicip dulu, ini kue buatan Rahma, lho." Erma menyodorkan kue bolu yang lembut dan tampak lezat ke Teguh.

Teguh mengambilnya lebih demi sopan santun, sebenarnya, kerongkongannya serasa tercekat erat. Tak yakin bolu bisa dengan mulus melewatinya. Setelah segigit bolu, Teguh buru-buru mengambil teh di cangkir di hadapannya dan menghabiskannya.

Rahma memerhatikan Teguh dan merasa iba. Seharusnya ayahnya tak sekeras itu kepada Teguh, kepada dirinya. Ayah tahu hubungan mereka sudah berlangsung lama. Apa salahnya menunggu dua tahun lagi?

Setelah Teguh pamit, Rahma mengantarnya ke pagar, dan melepasnya pergi di antara rintik hujan yang kembali turun, Rahma buru-buru masuk dan mengemukakan pendapatnya.

"Ayah, Neng nggak masalah kalau harus nunggu Teguh dua tahun lagi," ucapnya takut-takut.

Bahrun menghela napas. "Ayah yang masalah."

Air mata Rahma tumpah juga akhirnya.

"Ayah tahu Neng mencintai Teguh. Tapi nggak bijak menunda pernikahan kalian. Tadinya Ayah pikir, setelah dia lulus kuliah D3, dia akan segera melamar Neng. Ayah tunggu-tunggu. Tapi kali ini Ayah nggak bisa nunggu lagi. Dua tahun terlalu lama. Ayah nggak mau Neng terlunta-lunta begini dalam hubungan ini."

Sambil mengelap air mata dengan punggung tangannya, Rahma menjelaskan. "Tapi Neng nggak merasa terlunta-lunta."

Wajah Bahrun mengeras. Erma menyadarinya dan buru-buru mendinginkan suasana di antara suami dan putrinya.

"Ayah sayang sama Neng, makanya Ayah bilang gitu. Neng yang sabar, ya? Kita tunggu aja hasil pembicaraan Teguh dengan ibunya gimana. Doa terus, Neng, supaya ibunya Teguh kasih izin Teguh menikah tanpa harus menyelesaikan kuliah S1-nya dulu."

Walau tak yakin, karena ia tahu betul betapa Ibu Teguh ingin anaknya selesai jadi sarjana S1, Rahma mengangguk dan hatinya berdoa lirih.

Di jalan, di bawah rintik hujan yang gerimis, Teguh mengingat lagi ucapan Ayah Rahma tadi. Hati kecilnya berkata, bisa-bisa ia akan kehilangan Rahma, gadis yang ia sayangi sejak SMP. Teguh menghela napas. Betapa ia sungguh tak ingin mengecewakan Rahma.

***

Di rumahnya, Bramantya memandang jam di dinding. Sudah jam tiga sore.

Najla, yang sedang menyuapkan cemilan ke anak-anak mereka, menoleh ke arahnya. "Mas, semua tamu sudah pulang. Lena dan Fadhil pasti sudah nggak sabar mau ketemu kamu."

Bramantya menghela napas. Terbuat dari apa hati perempuan ini sebenarnya? Menyuruh suami mendatangi madunya yang penuntut?

"Aku berangkat," ucap Bramantya lirih.

Najla mengangguk, tersenyum tipis. Bramantya melangkah ke pintu, tapi kemudian ia berbalik dan menghampiri Najla, mengecup keningnya. Mereka bertatapan dalam diam. Najla mengecup punggung tangan Bramantya.

"Maaf tadi aku sampai lupa salim, Mas."

"Nggak apa-apa. Aku berangkat. Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikum salam."

"Ayah!" panggil putri bungsu Bramantya dan Najla, Icha. "Ayah pulang ya nanti malam, setelah dari rumah Mama Lena. Icha mau main kemah-kemahan sama Ayah."

Bramantya dan Najla saling pandang. Mereka sadar, Lena takkan mengizinkan Bramantya pulang malam nanti karena sejak malam takbir kemarin, Bramantya tidak ke sana. Suasana tegang di antara mereka.

Namun Bramantya berusaha tersenyum kea rah putri kesayangannya. "Insya Allah," janjinya lirih, lalu melangkah ke luar rumah dengan sangat gontai dan tak semangat.

Dalam hati, Najla berbisik tak kalah lirihnya, "Maafin aku, Mas." Rasa bersalah menghantuinya selama hampir dua tahun pernikahan Bramantya dan Lena. Ia tahu, Bramantya tak bahagia, dan itu salahnya. Ia telah mengecewakan pria yang teramat ia sayang.

ISTRI KETIGATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang