Lena sedang berdandan. Ia ingin tampil secantik mungkin. Malam ini adalah gilirannya. Bramantya sudah berjanji akan mengajaknya makan malam. Lena penasaran, ke mana Bramantya akan mengajaknya. Ia sudah memberi kode bahwa ia ingin suasana malam yang romantis. Semoga Bramantya memilihkan tempat yang tepat. Ia juga sekalian ingin mengetes, sejauh mana Bramantya sudah terpikat oleh pesona seorang Lena.
Fadhil, putra semata wayangnya yang masih balita, menghampirinya. Fadhil tampak tidak suka melihat Lena sudah rapi dan siap pergi. "Mama mau ke mana?"
"Mau pergi sama Ayah Bram." Lena menjawab tak acuh sambil merapikan alisnya yang dirasa masih belum melengkung indah.
"Ikut!" rengek Fadhil.
Lena menghela napas. Jangan sampai rengekan Fadhil membuat mood-nya berantakan untuk acara malam ini. Lena pun berteriak, "Iyaaaaah!!!"
Tak menunggu lama, Iyah, ART yang ia tugasi untuk menjaga Fadhil, muncul di hadapannya. "Iya, Bu?"
Lena malah membelalak. "Kamu, berapa kali harus saya bilangin, sih? Kalau ada Bapak, panggil saya Ibu, tapi kalau nggak ada Bapak, panggil saya Nyonya!"
Iyah menunduk takut. "Iya, Nya? Ada apa?"
"Ini, ajak Fadhil main. Saya habis ini harus pergi. Harus siap-siap."
Fadhil langsung menangis. "Nggak mau! Fadhil mau sama Mama! Mau sama Ayah!"
Iyah segera membujuk sambil menggendong tubuh meronta Fadhil, membawanya keluar kamar. "Fadhil, main sama Mbak aja, ya? Mbak punya coklat. Ada banyak itu di dapur."
Tapi Fadhil tetap meronta dan merengek. Terdengar oleh Lena dari dalam kamar walaupun pintu sudah ditutup oleh Iyah dengan susah payah. Lena menutup telinga dengan kedua tangan. Tampak sangat kesal. Lalu saat yakin suara Fadhil semakin sayup dan menghilang, Lena mulai melepaskan tangan dari telinga dan menatap cermin dengan masih kesal.
"Uugghh!!! Fadhil, ngerti nggak, sih, kamu? Mama lakukan ini untuk masa depan kamu! Papa kamu nggak meninggalkan cukup harta untuk masa depan kamu. Mama harus pastikan Ayah Bram akan sudi memberi kamu bagian yang sama dengan anak kandungnya. Jadi jangan kira Mama lakukan ini semua demi Mama seorang. Ini demi kamu!"
Tiba-tiba pintu kamar dibuka. Bramantya masuk. Lena terkejut dan menoleh. Wajah kesalnya segera berubah menjadi wajah manis. Semanis madu, katanya. Tapi memang ia adalah madu, madu dari istri pertama suami tampan kaya raya yang sedang berdiri di hadapannya.
"Mas Bram sudah pulang?" Lena melirik jam di dinding kamar mereka. "Biasanya setengah jam lagi baru datang."
"Fadhil kenapa nangis?" Bramantya bertanya dengan nada datar sambil duduk lalu membuka sepatunya.
Lena, dengan gaya bak seorang wanita sholehah yang menurut kepada suami, segera berlutut di hadapan Bramantya mengambil sepatu Bramantya, menata di lantai, lalu membukakan kaus kaki Bramantya.
"Biasa, minta coklat, tapi nggak aku kasih. Mas lihat sendiri, sudah gemuk banget dia. Kata dokternya, dia harus diet kalau mau disunat."
Sambil berkata begitu, walau dengan nada selembut dan setenang mungkin, sebenarnya dalam hati Lena, ia mulai khawatir. Kenapa Bramantya justru membuka sepatunya? Bukankah mereka akan pergi makan malam bersama?
"Ya tapi kamu kan bisa membujuk Fadhil dengan baik-baik, alihkan perhatiannya. Kok dia malah dipegang si Iyah? Nggak bisa Iyah membuhuk Fadhil kayaknya." Bramantya protes sambil mengambil kain sarung dari lemari.
Lena semakin khawatir. Bramantya kadang suka mengenakan kain sarung di rumah. Hey, suami tampanku, kita mau pergi makan malam. Kamu nggak lihat aku sudah dandan?! Lena mengerang dalam hati.
"Iya, maaf, Mas. Soalnya aku kan sedang siap-siap."
"Memangnya kamu mau ke mana?" Bramantya menatap Lena heran.
Tuh, kan! Benar, kan! Lupa dia!
"Mas, kamu kan sudah janji, kita akan makan malam bareng."
Bramantya terdiam, baru teringat. "Duh, sori. Aku tadi seharian sibuk mempersiapkan cabang baru. Aku lupa, Lena. Kita makan di rumah aja, ya? Aku capek."
Bahu Lena merosot. "Tapi, Mas, aku sudah dandan, lho, ini!"
Kini bahu Bramantya yang merosot. Sungguh, ia lelah. Lena selalu begitu, selalu memaksakan kehendak. Berbeda dengan Najla. Bramantya benar-benar lupa pernah menyanggupi mengajak Lena makan malam. Ia pikir, ia akan membawa Najla makan malam lebih dulu, baru kemudian Lena. Ia selalu berusaha adil dan menurutnya, Najla harus selalu didahulukan karena ia memang yang pertama menempati hati Bramantya. Bukan hanya yang pertama, Najla adalah satu-satunya yang menempati hati Bramantya. Lena tak pernah bisa menyusup masuk ke hatinya.
Sebesar dan sekuat apapun keinginan dan usaha Lena, yang dapat wanita itu sentuh hanyalah tubuh Bramantya. Bukan hati Bramantya. Itu pun Bramantya sekadar melakukan kewajibannya sebagai suami agar kelak tak dipertanyakan di hari penghisaban.
"Mas," rengek Lena lagi.
Bramantya akhirnya meletakkan kembali kain sarung itu di lemari. "Kamu mau ke mana memangnya?"
Lena tersenyum lebar. "Surprise me, Mas!"
Rasa lelah dan mood yang terlanjur berantakan membuat Bramantya tak ada hasrat untuk memberi kejutan untuk istri keduanya ini.
"Kejutan untuk kamu adalah kamu boleh memilih resto termahal yang kamu tahu."
Lena tersenyum senang, menganga, membelalak. "Resto termahal?"
Bramantya mengangguk, tersenyum setengah hati, karena dalam hatinya ia merutuk, membodoh-bodohi, memaki dirinya sendiri, mengapa menikahi wanita super matre satu ini.
Saat Bramantya memberi syarat agar mereka mengajak Fadhil, Lena menolak. Bramantya hanya bisa menggeleng-geleng tak habis pikir. Bagaimana seorang ibu bisa mengabaikan anaknya demi kebahagiaannya sendiri? Terlebih, saat mereka berangkat, Fadhil mengamuk hebat. Iyah kewalahan. Untung saja ada satpam kompleks yang membantu menenangkan anak yatim yang masih kecil itu.
Bramantya menyayangi Fadhil meskipun bukan anaknya sendiri. Karena Fadhil sebenarnya anak yang sopan, cerdas, baik hati. Entah bagaimana anak sekualitas itu lahir dari rahim seorang Lena.
Lena yang mendapati Bramantya diam saja sepanjang perjalanan juga merutuk dalam hati. Sepertinya amukan Fadhil semakin membuat mood Bramantya berantakan. Tapi ia benar-benar perlu berdua saja dengan Bramantya malam ini. Demi masa depan Fadhil juga. Lena akan mengajukan sebidang tanah tak jauh dari rumah mereka untuk dibeli dengan nama dirinya, dan dengan perjanjian kelak akan diberikan untuk Fadhil jika usia Fadhil sudah memasuki delapanbelas tahun.
Lena akan menggunakan semua pesona dirinya hingga Bramantya menyetujui idenya itu. Dan ia yakin Bramantya akan setuju.
KAMU SEDANG MEMBACA
ISTRI KETIGA
RomanceTAMAT! Terima kasih sudah sudi mengikuti perjalanan Rahma, Bramantya, Teguh, dan Najla. Terima kasih untuk yang sudah subscribe dan kasih bintang. Semoga Kakak-kakak selalu bahagia. Jangan lupa ikuti sequel-nya, BUKAN ISTRI KETIGA. SEGERA! *** Rahma...