SIX: Go See The Doctor

3.4K 365 15
                                    

Dengan meminta banyak saran dari Kak Kimmy, gue memutuskan untuk mengantar Rey menemui dokter kandungan keesokan harinya.

Kenyataan bahwa nggak semua dokter akan bisa menerima keadaan kekasih gue itulah yang ngebikin gue besikeras meminta saran kakak perempuan gue itu semalam. Terlebih, Kak Kimmy pernah tinggal di Bali selama masa mengandung hingga melahirkan Patrice—puteri pertamanya. Makanya, gue langsung yakin kalau kakak perempuan gue itu adalah orang yang tepat untuk meminta saran dokter mana yang kira-kira tepat untuk gue datangi bersama Rey.

Berbekal alamat yang dia kirimkan melalui pesan instan, gue kemudian membawa Rey ke salah satu dokter yang praktik di kawasan Bedugul. Jarum di arloji gue telah menunjuk angka sebelas siang tepat ketika Jazz biru yang gue rental dari hotel terhenti didepan sebuah bangunan dua lantai dengan plang besar bertuliskan dr. Wayan Sukmana, SpOG terpajang di hadapannya. Setelah memastikan bahwa tempat kami berada kini sama dengan alamat yang dikirimkan Kak Kimmy, segera gue mengajak Rey keluar mobil dan bergegas memasuki pintu kaca yang menjadi gerbang masuk bangunan berwarna salem tersebut.

Seorang perempuan tinggi yang dalam balutan kemeja berwarna toska menyapa kami dengan ramah dari balik meja respsionis.

"Selamat siang. Ada yang bisa saya bantu?" katanya, memunculkan senyum paling lebar yang pernah gue lihat .

"Ah, anu." Menggaruk leher yang sama sekali nggak gatal, gue mulai berkata. "Saya sudah ada janji bertemu dengan Dokter Wayan Sukmana untuk pukul sebelas."

"Boleh saya tahu nama pasiennya?" tanyanya lagi.

"Ah. R-Rey," jawab gue pelan. Takut-takut ada pasien lain yang mendengar. "Reytama Adliandhika."

Tak ada ekspresi kaget atau judgemental setelah gue mengucapkan nama itu. Sang resepsionis yang gue ketahui bernama Melati Widyatedja itu justru dengan cekatan mengecek data yang terpampang di layar komputernya.

"Atas nama Bu Rey, ya?" katanya setelah mengangkat kepalanya kembali menghadap gue.

"Sebenarnya, Pak, sih," kata gue kaku. Demi apapun, ini terlalu absurd dan gue masih belum terbiasa.

Namun Mbak Melati—please, gue nggak tahu harus nyebut dia gimana—justru tersenyum santai seolah nggak menemukan sesuatu yang aneh dari perkataan gue. "Baik. Dokter Wayan sudah menunggu di ruangannya. Silakan naik ke lantai dua, ruangannya pintu kedua sebelah kanan."

Maka usai apa yang dikatakan perempuan itu, segera gue gamit tangan Rey untuk menuju tempat yang disebutkan tadi. Demi apapun, gue nyaris pingsan waktu beberapa pasien secara nggak sengaja bertatapan mata dengan gue. Bayangin, dua orang cowok, datang ke dokter kandungan, pakai acara gandengan tangan segala. Entah apa yang ada di pikiran orang-orang itu sekarang.

"Masuk."

Suara berat itu segera terdengar setelah gue mengetuk pintu yang tadi disebutkan si Mbak Resepsionis. Masih setengah gemetar, gue memutar kenop pintu sehingga membuat benda persegi tersebut terbuka dan memunculkan sesosok pria berambut nyaris pelontos dengan jas putih membalut tubuh tingginya.

"Ah, Tuan Javier rupanya. Silakan, silakan. Mari silakan duduk."

Sejujurnya, jumlah pertanyaan di kepala gue semakin bertambah usai apa yang dikatakan oleh Dokter Wayan tersebut. Setelah tadi resepsionis di bawah tidak kaget mengetahui bahwa pasien yang gue bawa adalah seorang lelaki, kini dokter berwajah oval dengan bewok memenuhi nyaris seluruh bagian bawah dagunya itu dengan gamblangnya menyebut nama gue seolah-olah kami sudah lama saling kenal.

"Nyonya Kimberly sudah banyak menceritakan tentang Anda dan Tuan Rey," sambung Dokter Wayan yang pada akhirnya mampu ngebikin gue menghela napas lega. "Anda tak perlu malu ataupun khawatir, saya bukan golongan dokter yang menentang teori male pregnancy."

[MPREG#3] BE A GOOD DADDYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang