ELEVEN: The Trap

2.3K 273 3
                                    

REYTAMA ADLIANDHIKA

Taksi biru yang kutumpangi berhenti tepat di pelataran Ocra yang cukup ramai. Setelah mengangsurkan beberapa lembar rupiah sesuai nominal yang tertampil di argo, aku segera bangkit keluar dan membiarkan kedua sepatu keds-ku menginjak pelataran restoran yang penuh dengan mobil-mobil mewah tersebut.

Sejak memutuskan untuk mengirimkan pesan pada Miko semalam, aku memang sudah bertekad untuk berhenti menjadi Rey yang tak bisa melakukan apa-apa. Maksudku, jika saja aku punya kesempatan untuk menjelaskan kondisiku dengan Kak Javi pada Miko, tentu aku juga bisa meminta laki-laki itu mundur dan tak lagi berhubungan dengan kekasihku. Kadangkala, ada sebuah kondisi di mana kita tak bisa diam begitu saja melihat apa yang menimpa kita. Aku butuh Kak Javi, pun begitu dengan bayi yang kini berada dalam kandunganku. Maka dari itu, mungkin saja aku bisa berbicara pada Miko dan menyelesaikan affair ini dengan cara yang baik-baik.

Menekan tombol-tombol ketik di layar ponsel, aku kemudian menanyakan apakah Miko sudah sampai di Ocra seraya membawa langkahku memasuki restoran Italia tersebut. Balasan dari laki-laki itu masuk  empat detik setelahnya, tepat ketika seorang pelayan wanita menanyaiku butuh meja untuk berapa orang.

"Kalau boleh tahu, meja 102 di mana, ya?" tanyaku seraya menjelaskan pada sang pelayan kalau seseorang telah menungguku.

"Oh, meja 102 ada di lantai dua, Kak," katanya mengacungkan tangan ke arah outdoor area yang terletak di bagian atas bangunan restoran. "Kakak naik tangga satu kali aja, dan meja 102 ada di sebelah kanan Kakak."

Maka setelah mengucapkan terima kasih pada perempuan cantik itu, aku kemudian memutuskan membawa kakiku menaiki tangga dan menuju ke arah yang tadi diberitahunya. Sama seperti penjelasan sang pelayan, tidak sulit menemukan meja tempat di mana Miko telah menungguku. Hanya perlu sekitar lima menit, akhirnya aku menemukan meja 102 lengkap dengan seorang laki-laki kisaran tigapuluh dengan setelan kemeja kasual yang segera menyapaku begitu aku tiba di hadapannya.

"Ah, akhirnya lo datang juga, Rey," sapanya dengan sok ramah. Seolah kami sudah lama saling mengenal. "Jika lo punya sesuatu penting untuk dibicarakan seperti yang lo maksud dalam pesan yang lo kirim, gue punya waktu setengah jam."

"Saya akan menyelesaikannya kurang dari setengah jam," kataku. Menjatuhkan tubuh ke atas kursi rotan yang ada di seberang Miko.

"Well, kalau begitu, mau pesan sesuatu dulu?" basa-basinya.

"Terima kasih, tapi tidak perlu." gelengku. Sama sekali tak berniat untuk berbasa-basi pada laki-laki yang telah membuat Kak Javi menyeleweng itu. "Saya meminta bertemu di sini untuk membahas tentang sesuatu yang terjadi di antara kamu dan Kak Javi."

Di luar dugaan, laki-laki di hadapanku itu meledakkan sebuah tawa kecil yang seketika membuat keningku berkerut. Seolah-olah apa yang baru saja kukatakan adalah sebuah hal lucu baginya.

"Jadi, lo datang ke sini buat ngelabrak gue?"

Aku menelan ludahku bulat-bulat, berusaha meredam emosi yang seketika muncul akibat ucapannya barusan.

"Saya minta tolong sama kamu," kataku, atau lebih tepat jika disebut memohon. "Saya tak peduli ada masa lalu apa di antara kamu sama Kak Javi. Namun satu yang pasti, Javier Pradikarsa yang kamu temui sekarang bukanlah laki-laki yang sama seperti yang kamu temui di masa lalu. Saya tahu kamu masih memiliki perasaan. Dan jika itu benar, tolong hargai saya dan keinginan kami untuk bahagia."

Yang kuajak bicara, tak memberi respon lain selain melipat kedua tangannya ke atas meja seraya menunjukkan senyuman mencemooh yang sama. Mungkin, laki-laki yang kini duduk di hadapanku ini tak ubahnya pelakor-pelakor lain di luar sana yang sudah tak punya lagi perasaan tersisa di hatinya.

[MPREG#3] BE A GOOD DADDYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang