Terungkap

5 1 0
                                    

Indri yang berniat ke super market ia urungkan saat tubuhnya berpapasan dengan tubuh Afsana diberanda bawah Apartemen. Matanya membulat saat melihat Afsana sedang berjalan tertatih dengan lemas.

Saat Afsana hampir ambruk, beruntunglah Indri langsung menahan dengan cara memegang bahunya. Afsana tersenyum tulus, "terima kasih, Kak."

Indri memapah Afsana menuju ke arah lift. Lift terbuka, Indri dan Afsana berjalan ke luar memasuki ruangan Afsana.

"Kodenya?"

"561120," jawabnya Afsana pelan namun masih terdengar oleh Indri.

Indri memapah Afsana masuk ke dalam kamar milik Afsana yang gelap. Dengan perlahan Afsana direbahkan diatas kasur empuk berwarna hitam itu. Saat Indri beranjak berniat menyalakan saklar lampu, Afsana berucap, "jangan dinyalain. Gue suka gelap, sunyi, tenang."

Indri menatap Afsana tak mengerti, "ta--tapi,"

"Terima kasih, lo taukan jalan keluarnya dimana?"

Itu pengusiran secara halus. Atau kasar?

Indri mengangguk sekilas, "kalau ada apa-apa, ke apartemen Aku aja. Aku siap sedia 24 jam buat kamu, Afsana."

"Kenapa?"

"Karena aku udah anggep kamu sebagai adik aku."

Pintu tertutup dan memang hanya ada gelap, dan kesunyian yang menyelimuti heningnya malam ini. Kali ini berbeda. Lebih sunyi, lebih senyap.

Afsana perlahan bangkit menyandarkan tubuhnya pada kasur. Dia menaikkam lutut lalu memeluknya. Kepalanya menoleh ke arah kanan yang terdapat pemandangan kota. Perlahan Afsana bangkit menyingkirkan selimut yang menutupi kakinya. Dia berjalan sambil menahan didinding. Afsana membuka pintu yang menghubungkan dengan balkon kamarnya.

Ketika pintu terbuka, anginlah yang pertama kali menyerang tubuhnya. Afsana terus melangkah sambil menatap langit yang dihiasi bulan dan bintang.

Aksa menatap mata hitam Afsana, "kenapa harus bulan?"

Afsana tersenyum, "karena ini hadiah spesial pemberian dari kamu, aku menganggap seolah hadiah ini adalah kamu. Bulan sendiri yang berarti kamu seoroang. Aku ingin kamu seorang yang mengetahui malamku! Aku ingin kamu yang menemani sunyi malamku! Aku ingiiiiin kaaamuuu yang menjadi penerang malamku disaat gelap mulai menyerang!" Kata Afsana diakhir dia menyengir.

Afsana mengangkat tangannya membiarkan angin yang menompang tangannya. Ia mencoba meraih bulan yang berada diangkasa lewat tangannya walaupun mustahil.

"Egois gak kalau gue kepengen lo nemenin sepinya dihidup gue?"

Aksa tersenyum, "nggak. Justru gue kepengen menjadi teman hidup lo."

"Aksa ... temani aku malam ini ... kemana lenyapnya omongan lo? Katanya lo mau menjadi teman hidup gue ... kemarilah ... gue lagi butuh temen ..." pintanya Afsana lirih. Tubuhnya merosot kebawah bersandar pada batas balkon itu.

Tangisannya mulai terjun lagi.

"Salah gak sih kalau aku pengen kamu yang menemani malamku selalu? Aku gak tahu perasaan apa ini, tapi aku hanya ingin kamu tetap hidup dengan aku yang selalu berada disampingmu. Apa itu egois?"

"Bilang sama gue kalau lo juga punya rasa yang sama ke gue!" Bentaknya Aksa dihadapan Afsana yang sedang berada diparkiran mobil di mall.

"Ra--rasa apa?" Tanya Afsana bingung.

"Jujur Afsana! Lo tinggal jujur lalu ungkapkan! Lo gak perlu bohong!" Bentaknya lagi Aksa membuat mata Afsana memanas, "apa? Bohong? Gue bohong apa?"

Nothing ImpossibleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang