SETAN?

2 1 0
                                    

"Afsana, apapun yang terjadi diantara kita, gue mohon untuk tetap tegar ya? Kita gak akan tahu kedepannya seperti apa, kita gak tahu masa depan seperti apa. Aku, lebih tepatnya kita lebih baik jangan mempunyai rasa lebih. Gue gak mau kalau salah satu diantara kita berlebihan berharap hingga ketika harapan itu putus, hilang sudah rasa untuk tetap hidup," jelasnya Aksa disamping Afsana yang sedang menikmati jagung bakar dipinggir trotoar jalan.

Halis Afsana menyatu bingung, "rasa? Apa itu rasa? Aku gak paham sama apa yang kamu bilang Aksa ... "

Aksa tersenyum melihat kepolosan Afsana yang subhanallah, "gak apa-apa, suatu saat lo akan paham."

Wajah Afsana murung. Ia kelihatan tak berselera untuk memakan jagung bakarnya lagi, "kenapa?" Tanya Aksa bingung.

Afsana menghela nafas berat, "aku ngerasa bego banget, aku ngerasa bodoh. Masa iya hal semacam itu aku gak paham?"

Aksa tersenyum maklum. Tangan kanannya terangkat menyentuh pipi tirus Afsana, "gak apa-apa Afsana, aku udah bilang gak apa-apa, suatu saat kamu akan paham."

Akhirnya Afsana mengangguk pasrah. Lima detik kemudian mimik wajah Afsana berubah drastis, "aku juga mau bilang sama kamu."

Aksa menggigit jagungnya, lalu menatap ke arah Afsana bingung, "apa?"

"Hm ... kamu jangan khawatirin aku. Kamu sendiri tahu kalau aku sudah terbiasa sendiri sedari kecil, jadiii kamu juga harus khawatirin diri kamu Aksana," Afsana nyengir.

Aksa memejam menutup bibirnya menghela nafas berat, "tapi Afsana ... "

Afsana menaruh jari telunjuknya didepan mulut Aksa agar diam. Matanya menatap mata Aksa dalam, lalu menyayu, "Aksana, kamu harus tahu fakta ini bahwa aku hanya orang numpamg lewat dalam hidup kamu dan akhirnya akan pergi nanti."

Aksa meraih jari telunjuk Afsana diletakkan dibawah, "sebelum kamu pergi aku yang akan pergi duluan."

"SIALAN! SIALAN, SIALAN, SIALAN! KENAPA NASIB GUA SIAL KAMPRET!"

Afsana tetep kekeh menggeleng, "pokoknya aku yang duluan! Intinya, siapapun yang akan pergi duluan, dia harus tanggung karena udah meninggalkan luka."

"Hah? Kamu ... paham sama apa yang kamu katakan Afsana?"

"Tentu."

"Tapi kenapa kamu gak paham perihal rasa apa lagi cinta?" Afsana mengangkat bahunya acuh.

Rambutnya acak-acakan sudah seperti orang gila. Dia berjalan tertatih ke arah meja rias yang tak terdapat alat make up disana. Hanya ada sisir, minyak wangi, vas bunga, dan cermin yang ada disana. Hanya saja, banyak wadah parfum yang sudah tak terisi.

Dia tersenyum miris,

lalu tertawa.

Crazy?

Mungkin?

Afsana menertawakan dirinya saat menatap cermin. Dia mulai menghapus jejak air matanya. Dia membuang seluruh yang ada dihadapannya lalu meninju cermin yang sedang menertawakannya.

Prankkk

Satu tarikan nafas terdengar, "kamu kuat Afsana, kamu gak lemah, kamu juga bukan orang yang kasar," katanya sambil mengusap matanya.

Senyuman diwajahnya terbit. Dia berusaha untuk menenangkan dirinya sendiri.

Senyuman miring terbit secara perlahan, "gimana reaksi mereka saat tahu siapa gue ya?"

Afsana menggeleng. Dia kembali menjadi dirinya sendiri. Dia berjalan ke arah wastafel mencuci tangannya yang berdarah dengan enteng tanpa merasa takut, ataupun sakit.

Nothing ImpossibleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang