Gillbert

3 1 0
                                    

Langkah berjalan santai menyusuri koridor yang sepi. Bahkan, koridor yang sepi seperti ini bukan apa-apa ketimbang sepinya hidup Afsana.

"Kamu harus sadar, Afsana! Kamu disini gak punya wali! Jangan bertindak seenaknya disini!" Gertaknya Aslih--guru BK.

Jika boleh jujur, memang rasanya hati Afsana ingin menangis. Benar. Sangat benar jika Afsana memang tak punya wali, apa lagi keluarga.

"Jalang."

"Dimana tata krama kamu Afsana!"

"Tapi Romlah yang bilang saya jalang didepan penduduk kelas. Salah saya marah? Kenapa sih, Bu...kenapa harus saya ngalah? Kenapa saya selalu dianggap tak punya harga diri oleh orang lain? Saya manusia loh, saya punya hati untuk merasa disakiti, telinga yang mendengar perkataan sadis kalian, juga punya mata untuk menangis. Bernafas aja saya salah, apa lagi melakukan sesuatu. Sepertinya saya memang salah untuk terus bertahan hidup, seharusnya saya mati."

"Bukan itu maksud Ibu, Afsana."

"Lalu apa? Ibu manggil saya, lalu Ibu nuduh saya yang melakukan kejahatan terlebih dahulu? Please, Bu. Apa saya seburuk dimata kalian? Saya cuma melakukan pembelaan untuk diri saya, dan itu salah. Kenapa sih manusia selalu bertindak semaunya tanpa memikirkan perasaan orang lain? Ibu tau sendiri saya gak punya wali, apa lagi keluarga? Pasti Ibu paham bagaimana saya berjuang untuk hidup ketika saya ditekan untuk mati."

"Saya bingung, kalian tau saya hidup sendiri tanpa wali, bahkan tanpa keluarga. Saya berjuang sendiri," berusaha menahan tangis, tapi justru wajah Afsana seperti anak kecil yang menangis, "tapi kenapa mereka malah menjatuhkan saya? Kenapa mereka berbuat seenaknya? Apa salah saya? Saya juga gak mau sendiri, saya kepengen punya keluarga, saya ingin tau arti keluarga seperti apa, saya ingin tahu rasanya dipeluk Ibu, Ayah, Kakak, Adik seperti apa. Saya ingin merasakan itu, bukan menginginkan takdir seperti."

Afsana tersenyum sinis, "ngapain sih pake curhat segala gue?" Afsana menggeleng tak mengerti.

Saat berada didepan pintu kelas langkahnya terhenti, "gue hidup hanya untuk dimatikan, kenapa gak sekalian matiin aja? Dunia emang penuh sandiwara drama," gumamnya pelan.

Pintu terbuka menampakan lelaki yang hendak membuka pintu tadi. Keduanya saling tatap melupakan waktu yang terus berlanjut.

Tatapan keduanya terkejut. Tak terasa mata Afsana mulai memanas, hatinya mulai resah, bibirnya kelu untuk berbicara.

"Maaf/Aksa," mereka berucap berbarengan membuat penghuni kelas menatap ke arah mereka.

Sangat jarang bagi mereka untuk melihat wajah garang Afsana, apa lagi wajah Afsana yang akan menangis. Setahu mereka, Afsana tak pernah menangis, paling-paling hanya marah.

"Itu kamu Aksa? Aku gak lagi halu, kan?" Tanya Afsana dengan suara bergetar.

Orang yang Afsana panggil Aksa menyirit bingung, "Aksa? Gue bukan--"

Terlambat, Fadhi langsung membawa Afsana pergi menjauhi kelas.

"Heh! Mau kemana kalian!?" Tanya Pak Aby garang.

Sedangkan Rangga, Cavino, Raja, dan Fadhi hanya menghela nafas kasar. Tak ada yang tahu jika ada orang yang sangat mirip dengan wajah Aksa.

Aulia melirik ke arah belakang menatap Romlah yang sedang tersenyum miris. Mungkinkah ini karena Aulia?

"Lepas Dhi!"

Afsana memberontak saat Fadhi membawanya ke dalam perpustakaan sekolah. Fadhi menghadap ke arah Afsana.

"Tenangin diri lo Afsana."

Jejak air matanya dihapus kasar oleh Afsana, "tenang!? Tenang lo bilang!? Gak salah denger gue!?"

Nothing ImpossibleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang