Rindu

3 1 0
                                    

Tangannya meraih bingkai foto yang berada dibawah kakinya. Tangan kanannya mengusap bingkai yang sudah pecah itu dengan lembut. Jemarinya terluka mengeluarkan darah segar, tapi dia tak peduli. Toh disini tak ada vampir kan?

Bingkai foto itu ia taruh didada mencoba memeluknya. Berharap jika sosok lelaki yang berada didalam foto itu bisa keluar. Tapi mustahil.

Afsana menatap apartemennya yang hancur. Sepertinya dia memerlukan seseorang untuk membantunya mengurus apartemennya kali ini. Karena, Afsana benar-benar sudah tak sanggup lagi untuk membereskan kekacauan yang dia buat.

Tubuhnya perlahan bangkit menuju ke arah luar. Ia menggelengkan kepalanya berkali-kali untuk mengubah ekspresi wajahnya agar terlihat happy.

Baru ingin mengetuk pintu, Indri langsung membukanya. Keduanya sama-sama terkejut.

"Lah? Ngapain kamu disini Afsana?" Tanya Indri bingung.

Afsana cemberut, sangat jarang terlihat oleh Indri Afsana berekspresi, apa lagi cemberut sekarang, "kamu sakit?" Tanya Indri tapi Afsana menggeleng.

"Eumm... anu, gue boleh minta tolong?" Tanya Afsana ragu, Indri juga mengangguk ragu.

"Gue boleh minjem asisten lo sehariii aja? A--apartemen gue kacau. Gue--gue--gue gak sanggup buat beresinnya," kata Afsana berusaha menahan getaran dalam dirinya.

Indri mengangguk paham, "boleh kok. Nanti besok gue kasih tau ke Bi Sumi."

Afsana bernafas lega lalu berbalik badan.

"Lo mau kemana?" Tanya Indri bingung karena Afsana tak masuk ke dalam apartemen miliknya.

Afsana berbalik badan, "gue--gue butuh angin!" Katanya nyengir.

Indri menghela nafas kasar, "jangan lama-lama!" Afsana mengangguk singkat.

Afsana menyusuri jalanan trotoar yang sudah mulai sepi. Tak jauh dari posisinya berada, ada yang menjual jagung bakar langganan dirinya dan Aksa. Hatinya nyoblos begitu saja.

Cengeng!

Tentu saja! Siapa yang tak sedih ketika ditinggal orang yang paling berharga dalam hidupnya?

"Kang," panggilnya Afsana membuat pedagang itu menoleh.

Wajahnya terkejut melihat Afsana, "loh? Eneng?" Halis Afsana menyatu bingung,

Emangnya pernah kenalan gitu?

"Eneng yang suka beli jagung saya waktu itu bareng mas gateng itu kan?" Tanya pedagang itu yakin sedangkan Afsana mengangguk ragu, "i--iya, Kang."

Wajahnya melihat ke arah belakang Afsana, "terus, si mas ganteng itu kemana?" Tanya pedagang itu mencari.

Afsana menarik nafas dalam lalu menghembuskan secara perlahan. Senyuman andalannya bangkit, "dia udah pergi, Kang!" Afsana nyengir.

Walaupun pedagang itu tak sepenuhnya mengerti, tapi dia mengangguk saja untuk menghargai privasi pelanggannya.

"Satu jagung bakar, Kang!"

Pedagang itu menyodorkan jagung bakar yang baru matang itu pada Afsana. Afsana merogoh kantong celananya memberikan uang berwarna hijau.

Pedagang itu mengeluh, "duh neng, saya gak ada kembaliannya, baru keluar juga," sesalnya pedagang itu.

Afsana tersenyum tipis, "gak apa-apa, Kang. Kembaliannya buat Akang aja. Saya duluan ya," tanpa izinpun sebenarnya Afsana bisa langsung pergi, hanya saja Afsana ingin mulai bisa menghargai orang kembali.

Kakinya terus melangkah tak tahu arah hingga kaki kanannya berhenti ketika jalanan mulai sepi. Afsana mendudukkan bokongnya dijalanan itu tak memperdulikan pakaiannya yang kotor nanti.

Nothing ImpossibleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang