5+3-6=2

129 41 151
                                    

"Dan akan memudar seiring berjalannya waktu."


Sang fajar hadir kembali, setelah melalui beberapa fase agar matahari itu kembali datang untuk membangunkan seorang laki-laki yang meringkuk di balik kasur dan mengorok. Ibunya---Natasya, memasuki kamar Mulya dengan pelan. Dia membuka gorden kamar Mulya agar lelaki itu bangun dengan sendirinya akibat cahaya matahari yang masuk melalui jendela. Natasya tersenyum, betapa bahagianya ia memiliki putra sebaik Mulya. Yang mau menerima orang asing yang sekarang notabene nya adalah 'calon suami' Natasya. Natasya lantas berjalan pelan ke arah kasur Mukya namun tak sengaja Natasya menginjak beberapa pensil yang sudah patah. Dia mengambil semua patahan pensil itu lalu membuangnya. Dia juga berpikir, kenapa pensil ini bisa patah? Untungnya Natasya tak memikirkan macam-macam, ia lebih berpikiran positif dan menganggap jika Mulya menggunakan pensilnya terlalu keras dan mematahkan semuanya. Natasya tersenyum pelan, kemudian menghampiri Mulya untuk mengecup keningnya lalu segera keluar dari kamar putra yang sangat ia sayangi itu.

Namun sayangnya, setelah beberapa jam berlalu, Mulya tetap masih ngotot ingin tidur dan tak ingin di ganggu. Untungnya ini hari minggu. Jadi, aman. Natasya menghela napas lelah, ia tidak berhasil membujuk Mulya untuk bangun. Walaupun libur, dia sudah berencana untuk mengajak Mulya berjalan-jalan dengan calon keluarga barunya itu.

Tok tok tok.

Dengan gesit Natasya menoleh, membukakan pintu selebar mungkin dengan senyuman merekah seperti biasanya. Vania yang datang dengan buah-buahan dan Rhendy yang datang membawa makanan ringan.

Vania celingak-celinguk mencari keberadaan Mulya, walaupun perkataan tadi malam membuat hatinya sakit, namun Mulya tetaplah akan menjadi adiknya. Adik yang akan sangat Vania sayangi.

Natasya yang seolah peka kalau Vania mencari Mulya segera berkata. "Mulya masih molor di kamarnya. Dari tadi di bangunin, dia gak mau bangun. Padahal sebentar lagi kita, 'kan, mau jalan-jalan."

Vania tersenyum tipis, "Kalo gitu, Mama sama Papa duluan, gih. Biar Vania yang jaga Mulya. Nanti kalo udah bangun, Vania sama Mulya nyusul."

Agak khawatir, Natasya menanyakan apa tidak apa-apa jika meninggalkan Mulya kepada Vania? Apa tidak merepotkan?

Tetapi, Vania tetaplah Vania. Vania yang sedang di pandang lembut, yang selalu tersenyum, "Ma, kapan lagi Vania pendekatan sama calon adik Vania. Ya, 'kan?"

Natasya lega, ia juga sungguh beruntung memiliki keluarga baru yang benar-benar baik. "Oke, Mama sama Papa duluan. Nanti kalian nyusul, ya? Biar Mama share lock kalo kalian udah mau berangkat."

"Eh. Tunggu ma, Vania ada ide."

•••

Dan disinilah Vania sekarang. Di kamar seorang lelaki yang barusan tadi malam berkata kalau dia adalah orang yang paling di benci di seluruh dunia ini. Vania tersenyum miris, apa salahnya tiba-tiba Mulya membencinya.

Vania mengelus lembut surai Mulya, layaknya seorang kakak yang sangat menyayangi adiknya. Namun kenyataan bertepuk sebelah tangan. "Mul."

"Ngggh."

"Mulya... bangun."

"Ma, Mulya benci. Mulya benci sama cewe yang namanya Vania itu. Mulya juga gak suka mama nikah sama si Rhendy-Rhendy itu. Mulya gak suka!"

Air mata terjatuh tepat dari mata Mulya, ia ternyata mengingau. Dan terasa sangat nyata sampai ia menangis. Vania hanya tersentak mendengar pengakuan Mulya yang terasa menusuk jantungnya dan meretakkan hatinya.

"Segitu bencikah Mulya terhadap Kakak? Apa salah kakak yang hanya ingin memberikan perhatian kepadamu, Mulya."

Vania menahan air matanya yang hampir terjatuh, lalu segera mengelapnya. Dia tengah bersiap mengumpulkan mentalnya untuk membangunkan Mulya, setelah mendengar apa yang Mulya katakan.

Vania menepuk-nepuk pipi Mulya pelan, "Mulya ... bangun."

Mulya benar-benar belum mengumpulkan jiwa sepenuhnya. Samar-samar dia melihat Vania yang mengeluarkan air matanya. Mulya menggosok-gosok kedua matanya untuk memastikan bahwa di depannya ini adalah Vania yang sedang menangis. Ternyata tidak, ia hanyalah Vania yang seperti biasa tersenyum tulus, membangunkan Mulya.

"Mama mana? Kenapa lo yang ada disini?"

"Mama pergi sama papa. Nanti kalo kamu udah siap, mama bakal share lock, kok."

"Hm."

Mulya berdiri lalu menatap Vania intens. "Lo habis nangis tadi, kan."

Wajah Vania tenang, tak ada raut gugup dalam dirinya, kemudian menggeleng. "Gak. Gak, kok."

"Ya udah, lo ngapain masih disini?"

Vania berdiri mensejajarkan dirinya dengan Mulya. "Cuma mau nanya sesuatu."

Mulya menaikkan salah satu alisnya pertanda ia bertanya apa yang ingin Vania tanyakan.

"Kenapa Mulya benci banget sama kakak?"

Vania langsung keluar setelah menanyakan itu, meninggalkan Mulya yang bungkam seribu bahasa sembari mematung di tempatnya. Pertanyaan semudah itu tak bisa Mulya jawab, bahkan terasa lebih susah bagaikan menjawab ribuan soal fisika dan matematika. Lagi-lagi, ini juga menjadi hari terbencinya. Dimana perkataan Mulya akan menjadi boomerang bagi dirinya sendiri.
























723

Dhlh, auah.

Rahasia CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang