Mobil itu terparkir apik di basement gedung. Lisa tampak memperhatikan sekitar, dan merasa lega dalam hati ketika mendapati parkiran itu sepi.
"Keluarlah terlebih dulu."
Lisa masih dalam pendiriannya. Dia tidak ingin siapa pun tahu mengenai dirinya. Mungkin cepat atau lambat identitas sebenarnya akan terbongkar, tapi sebelum itu Lisa ingin membuktikan dirinya bisa berdiri di kakinya sendiri. Tanpa campur tangan nama ayahnya.
"Arraseo." Lisa mengernyit mendengar jawaban Jennie. Tidak biasanya gadis berpipi mandu itu langsung menurutinya.
Dia menoleh, dan sekejab tubuhnya membeku ketika menerima kecupan singkat dari Jennie di bibirnya. Tanpa mengatakan apa pun lagi, sang kakak keluar begitu saja dari mobil kuning Lisa.
"Apa wajahku benar-benar tidak menampakkan kedewasaan?" Lisa bertanya dengan bingung seraya menatap dirinya sendiri dari pantulan kaca mobil.
Dahulu, ketiga kakaknya itu memang sering sekali memberikannya ciuman. Tapi bukankah waktu sudah berlalu cukup jauh? Lisa merasa sudah dewasa dan tak memerlukan hal seperti itu yang tampak kekanak-kanakan.
Dia berdecak kesal. Jika pun Lisa melayangkan protes, ketiga kakaknya tetap akan melakukan hal itu. Mereka sungguh keras kepala.
"Ah, molla!" Lisa mengacak rambutnya kasar, sebelum akhirnya keluar dari mobil itu.
Gadis berponi itu melangkah memasuki gedung rumah sakit dengan wajah dingin khasnya. Ingin pergi ke ruang kerja untuk mengambil jubah putihnya, namun seorang Dokter residen justru menyuruhnya segera ke UGD.
Disana, Lisa sudah ditunggu oleh kepala bedah umum. Jelas saja Lisa akan mendapatkan amarah kembali karena saat ini sudah pukul sembilan pagi dan Lisa baru saja tiba.
"Apa kau pikir ini rumah sakit ayahmu? Kenapa kau selalu melakukan sesuka hati?"
Lisa mengusap telinganya. Ingin sekali dia berteriak bahwa rumah sakit itu memang milik ayahnya. Tapi Lisa menahan dirinya untuk tidak lepas kendali.
"Hari pertama kau datang sangat terlambat. Lalu kau pulang ketika masih ada pasien yang harus ditangani. Aku juga mendengar kau meneriaki Dokter Park disini. Apa kau tak punya sopan santun?" lihatlah, bahkan kini Dokter Byun membentaknya di depan banyak orang. Apa dia sengaja ingin membuat Lisa malu?
"Aku memang tak punya sopan santun? Wae? Kau ingin memecatku?" tak ada sama sekali rasa takut yang Lisa rasakan, membuat emosi Dokter Byun semakin tak terkendali.
"Dokter Byun, pecat saja dia. Untuk apa mempertahankan Dokter seperti itu? Menjadi subspesialis di usia 21 tahun? Omong kosong."
Lisa memainkan lidahnya karena merasa geram dengan Park Eunji yang tiba-tiba menyahut. Wanita itu benar-benar mencari perkara dengan Lisa.
"Dokter Park benar. Akan rugi jika rumah sakit ini tetap mempertahankanmu. Jadi, mulai hari kau tidak perlu lagi bekerja." Lisa masih saja terlihat santai mendengar penuturan Dokter Byun. Tentu saja dia tak akan berhenti bekerja, karena yang berhak memecatnya adalah pimpinan rumah sakit.
"Siapa kau berani memecatnya?"
Suasana di UGD itu tiba-tiba menegang tatkala sosok Jisoo muncul dan berdiri di depan tubuh sang adik. Menatap nyalang pada Dokter Byun yang tampak gelagapan.
"N-Nona Jisoo?" Dokter Byun saat ini benar-benar berharap jika penglihatannya sedang terganggu. Tidak mungkin di hadapannya ini adalah Ahn Jisoo, anak pemilik Yuseong International Hospital.
"Apa jabatanmu setinggi itu hingga bisa memecatnya? Kau tau dia---"
Tak ingin kakaknya berkata lebih jauh lagi, Lisa segera menarik lengan Jisoo untuk keluar dari ruang UGD. Dia memilih tempat yang paling sepi untuk membawa Jisoo.

KAMU SEDANG MEMBACA
Lampyridae ✔
FanfictionLisa mengagumi kunang-kunang. Cahayanya begitu indah. Tapi dia lupa, jika memiliki cahaya lain di dalam hidupnya yang lebih indah. Jisoo, Rosé, dan Jennie. Mereka siap menjadi penerang untuk Lisa. Tapi nyatanya Lisa terus menolak. Ahn Jisoo, Ahn Jen...