4. Cambukan Rotan

11 2 0
                                    


Rotan adalah benda yang sudah tidak asing lagi di telinga Varlega sebab benda tersebut selalu menjadi senjata andalan sang ibu ketika ingin mencambuk kulit putih penuh lukanya setiap kali menolak perintah melayani om Komin.

Streeet!

Cambukan pertama berhasil membuat paha putih bersih yang sedang terlentang itu berubah menjadi memerah. Varlega pun langsung memejamkan matanya kemudian menjerit kesakitan.

"MOOMY!" teriak Varlega ketika sebuah cambukan rotan berhasil mendarat di kulit paha mulusnya.

"Itu akibat karena nggak mau ladenin om Komin," ledek Yusi sambil mengacungkan tangan kanan yang sedang memegangi rotan tipis.

Yusi sudah siap untuk mencambuk anak tirinya kapan pun, dia hanya menunggu Varlega untuk terus teriak meminta ampun.

Varlega yang tidak kunjung memberanikan diri untuk meminta ampun hanya dapat menunduk lemas, dia memperhatikan paha putihnya menampilkan garis berwarna merah keungu-unguan.

"Hmm ... Hmm ... Ega akan mati," tangis Varlega.

Yusi tersenyum geli saat melihat ekspresi menggemaskan Varlega ketika mengucapan kalimat nyeleneh tersebut.

Gigi-gigi putih Yusi bahkan seperti sedang meledek serta menertawakan penderitaan Varlega dan semakin membuat Varlega yakin bahwa ibunya tersebut tidak berprikemanusiaan.

Tidak, Yusi memang tidak memiliki prikemanusiaan sehingga membuat Varlega sangat ingin melakukan sesuatu agar ibu tirinya ini berhenti menyiksanya.

Varlega tidak berkenan untuk menyusuti air mata yang keluar menuju pipinya, dia menbiarkan air mata tersebut jatuh dan membuat Yusi malah semakin bersemangat untuk mencambuk bagian paha Varlega.

Streeet!

Cambukan kali ini terdengar sangat kencang seperti sudah berhasil membuat Varlega menjerit-jerit karena merasa perih di bagian pahanya.

"AAAA...."

Mulut Varlega terbuka lebar, memberikan sebuah jeritan yang tidak digubris oleh Yusi.

Dari mata Yusi sendiri sudah terpampang jelas bahwa dia memang ingin terus memaksa Varlega untuk melayani om Komin.

Varlega terus mengeluarkan air mata sebanyak-banyaknya sebagai pelampiasan untuk luka-luka yang telah dialaminya, dia menatap bagian paha bekas cambukan sang ibu, tampak memar-memar dan mengeluarkan darah merah kental.

"Darah?" gumam Varlega sambil sedikit menghentikan tangisannya.

Yusi menatap Varlega yang sedang membelakanginya, dia menarik rambut Varlega dengan begitu kasar dan mendadak sangat terkejut dengan apa yang telah diperbuat oleh anak tirinya itu.

Hal pertama yang dilihat Yusi terhadap Varlega adalah darah merah menyala serta kental yang telah menghiasi setiap sudut bibirnya.

Yusi melangkah mundur hingga punggungnya menyentuh tembok, dia menampakkan ekspresi ketakutan dan membuat Varlega tertawa dengan begitu lantang.

"Hihihi...."

Suara tawaan yang sangat gemas, hampir seperti suara tertawa anak-anak seusianya. Namun, tawaan Varlega terdengar lebih seram daripada biasanya dan membuat bulu kuduk Yusi berdiri.

"Heh!" sergah Yusi. "Ngapain kamu ngejilatin darah itu?"

Varlega tertegun tanpa mau menghentikan suara tawaannya kemudian menatap Yusi dengan wajah polos, rasa takut yang dia ekspresikan mendadak hilang, tidak ada rasa ragu lagi ketika menatap wajah ibunya.

"Manis." Varlega tersenyum lebar, membuat suasana di antara keduanya berubah menjadi sedikit dingin. "Aku penasaran sama darah Momy."

Sreeettt!

Yusi kembali memecutkan rotan di hadapan Varlega bak sedang membuat Varlega menghentikan suara tertawa meledeknya.

Suara tertawa Varlega sontak langsung berhenti, kepalanya menunduk agar ekspresi takut di wajahnya tidak dilihat jelas oleh Yusi.

Wajah penuh luka-luka Varlega mendadak disembunyikan lewat dua telapak tangan, dia telah pasrah atas segala perbuatan sang ibu dan merasa bahwa nyawanya akan segera melayang bila terus tinggal bersama Yusi.

"Dasar anak aneh!" ledek Yusi sambil membantingkan rotan yang dia pegangnya di hadapan Varlega.

Yusi sendiri segera berjalan menghampiri pintu kamar, menggebrak pintu agar tertutup kemudian keluar kamar Varlega dengan perasaan ngeri sudah menjalar ke seluruh tubuhnya.

Sebuah senyuman lebar serta penuh rasa senang dia perlihatkan, Varlega merasakan sebuah kesenangan berbeda ketika melihat Yusi yang biasanya selalu menyiksa malah terlihat ketakutan.

Varlega menyusuti air mata di pipinya dengan tangan yang sudah hadir bercak-bercak darah dari paha sehingga membuat wajah Varlega turut terkena bercakan darah.

"Jangan sepelekan siapa pun, mereka bisa menjadi monster di manapun dan kapanpun."

Ucapan salah satu psycopath di dalam layar televisi beberapa hari lalu yang ditontonnya serta bercerita tentang berita-berita kriminal kembali terucap oleh Varlega dengan begitu fasih.

Wajah Varlega yang sudah dihiasi oleh bercakan darah membuatnya tampak hampir seperti seorang psycopath sungguhan.

Apakah mungkin Varlega bisa menjadi sosok psycopath? Dia sendiri masih kurang yakin bisa sekejam psycopath karena Varlega tampak cukup cantik dan juga menawan hati.

"Aku senang ngeliat momy ketakutan, aku akan ngebuat momy terus seperti itu," gumam Varlega sambil mengepal kedua tangannya kuat-kuat.

Ada perasaan senang sekaligus kesal yang tidak dapat diucapkan kepada siapa pun, bahkan ibu tirinya sendiri tidak akan pernah perduli kepada ocehan Varlega.

Varlega berdiri dari posisi duduk kemudian berjalan menghampiri sebuah pisau di balik sebuah bantal, meraih pisau tersebut kemudian melemparkannya menuju arah pintu kamar.

Braaagh!

Pisau tersebut tertancap dengan kokoh di pintu kamar, membuat Varlega menjadi lupa pada rasa pedih di pahanya.

Varlega tersenyum manis, dia melemparnya tepat sasaran. Yah, Varlega memang cukup ahli dalam bidang lempar-melempar apalagi ketika melempar buah mangga dengan sebuah krikil, dia tidak pernah meleset.

"Kok momy nggak marah?" tanya Varlega kepada dirinya sendiri.

Biasanya,

Varlega mulai menghampiri pintu, menatap ruangan televisi yang sering dijadikan sebagai ruangan utama Yusi di rumah tersebut.

Tampaknya Yusi sudah tidak ada di rumah, Varlega semakin meyakini hal tersebut karena sendal Yusi yang ada di dekat pintu rumah sudah tidak terlihat.

Varlega kembali melangkah ke kamar tidurnya, dia akan beraksi seorang diri dengan benda favoritnya yaitu sebuah pisau tajam.

Saat sudah kembali, Varlega menjadi sedikit terkejut ketika tidak mendapati pisau tertancap di pintu dan malah menghilang dengan begitu saja.

"Eh, pisaunya kemana? Kok ilang?" ucap Varlega dengan nada bingung sambil memiringkan kepalanya menuju sebelah kanan serta kiri.

🔪🔪🔪

Jangan lupa tinggalkan jejak kalian melalu vote, koment and share informasi ke temen-teman, kakek, ibu, bapak dan warga sekelurahan tentang novel Varlega, A Little Psycopath ini.

^~^

Varlega, A Little PsycopathTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang