Ritual Persembahan

558 20 4
                                    



“Saya terima nikahnya Murni Saraswati binti Darto dengan mas kawin sepasang sapi dibayar tunai!” ucap Hadi lantang dalam satu kali tarikan napas.

“Bagaimana para saksi? Sah?” tanya Pak Penghulu memastikan sambil melihat ke arah para saksi.

“SAAAH!” seru para saksi dan tamu undangan.
Murni tersenyum simpul lantas mengecup punggung tangan Hadi sebagai tanda bahwa kini statusnya telah resmi menjadi seorang istri. Sedang Hadi membalasnya dengan mengecup kening Murni.

Doa penutup acara telah dilantunkan, Murni dan Hadi menengadahkan tangan mengamini sambil sesekali curi pandang dan tersenyum simpul.

***

Hari hari Murni dan Hadi sangat indah. Mereka menjalani biduk rumah tangga seperti pengantin baru pada umumnya.

Sampai tahun demi tahun tanpa terasa terus terlewati. Hinaan dan nyinyiran tetangga perihal kondisi ekonomi kerap menerpa, tapi Murni dan Hadi tetap santai.

Saking asyiknya berpacaran setelah menikah mereka sampai lupa jika masih ada yang kurang dalam rumah tangganya. Yaitu kehadiran sang buah hati. Murni dan Hadi pun mulai menjalani berbagai macam usaha demi mendapatkan seorang anak.

***

Lima tahun kemudian.


“Ck! Sudahlah, Mas! Aku sudah muak dengan pengobatan alternatif, minum jamu, ke dokter atau terapi. Sudah berapa ribu kali kita berusaha dengan cara seperti itu, tapi mana hasilnya? Nggak ada, ‘kan?” cerocos Murni saat Hadi mengajaknya pergi berobat demi bisa mendapatkan momongan.

“Terus Adek maunya gimana sekarang?” tanya Hadi memastikan.

“Kita coba aja ikuti sarannya Mbah Damin, Mas. Pergi ke pohon keramat itu. Katanya sudah banyak yang berhasil punya anak setelah memberikan persembahan dari sana,” papar Murni.

“Apa kamu yakin, Dek, itu jalan yang terbaik?” Hadi masih meragu.

“Yakin, Mas. Lagipula syaratnya mudah. Kita cuma perlu bawa ayam cemani sepasang, kembang tujuh rupa, sama minyak wangi dan rokok. Udah. Gitu doang,” papar Murni, “lagi pula aku sudah capek hati, Mas, mendengar cibiran tetangga. Semua orang pada ngatain kita, udah lama nikah, tapi belum punya anak. Ada juga yang bilang kita nggak becus bikin anak, terus Bu Markonah ngatain aku mandul di depan orang banyak. Sakit hatiku, Mas!” lanjutnya nyerocos.

“Yo wis, besok kita ke sana.” Akhirnya Hadi setuju.

Murni dan Hadi pun menyiapkan oborampenya secara diam-diam, dan pergi ke tempat keramat itu juga secara diam-diam.

“Nanti setelah jam sebelas malam baru kita berangkat, Mas,” bisik Murni. Hadi mengangguki.

***

Berbekal senter dan obor, Murni dan Hadi berangkat ke tempat keramat itu tanpa sepengetahuan keluarganya.

Di tengah perjalanan, Murni mendadak diserang hawa dingin sampai tubuhnya menggigil. Padahal, Hadi baik-baik saja.

“Sini tanganmu dekatkan ke obor biar hangat, Dek!” Sesuai titah Hadi, Murni mendekatkan tangannya ke nyala obor.

“Gimana, sudah mendingan?” tanya Hadi kemudian.

“Sudah, Mas.”

“Kalau gitu, kita lanjutkan perjalanan, ya! Masih jauh soalnya,” ujar Hadi.

“Iya, Mas.”

Murni berjalan di barisan depan, Hadi mengekor. Mereka melintasi jalan setapak yang diapit semak dan pepohonan besar. Sangat gelap dan hanya ada suara jangkrik serta hewan malam lainnya yang mengiringi langkah pasangan suami istri itu. Hingga akhirnya sampai di tempat yang dituju.

Murni dan Hadi bergegas menyiapkan sesaji yang dibawanya dari rumah. Berupa kembang kantil, mawar, kenanga, kemboja, kertas, seruni dan  melati. Kemudian rokok yang terbuat dari kulit jagung kering. Lantas menyalakan dupa dan mengutarakan permintaannya kepada penunggu pohon besar tersebut. Terakhir, Murni dan Hadi melepaskan sepasang ayam cemani secara bersamaan. 
Lantas keduanya pulang. Meninggalkan pohon besar yang terlihat seperti raksasa saat diselimuti kegelapan malam.

Sangat menyeramkan.

***

Malam kedua usai melakukan persembahan itu, Murni bermimpi didatangi seorang lelaki tampan dan menggagahinya.

“Titip buah cintaku. Jaga dan rawat dia dengan baik! Turuti semua keinginannya! Jika kau dan suamimu tidak ingin celaka!”

Di dalam mimpi, Murni hanya membisu, mulutnya seolah terkunci. Dia hanya diberi kesempatan untuk menyimak saja.

“Satu lagi, setelah usia kandunganmu 7 bulan nanti, sediakan tumbal berupa ari-ari bayi, dan makanlah!” imbuh sosok tampan dalam mimpi Murni. Detik berikutnya menghilang meninggalkan suara tawa yang menggema.

Murni terbangun, badannya terasa lemas. Rasanya sama persis seperti saat ia usai berhubungan intim dengan Hadi. Tenggorokannya mendadak terasa kering, ia pun ke dapur mengambil air minum. Lalu menenggaknya hingga satu teko tandas.

***

Satu bulan kemudian.

“Mas, aku pengen makan bunga melati,” rengek Murni. Saat jarum jam menunjuk ke angka 11 malam.

“Kamu ini, kok aneh-aneh aja, to, Dek?” sahut Hadi.

“Carikan aku bunga melati! Sekarang juga!” teriak Murni penuh penekanan.  Suaranya terdengar berbeda dari biasanya. Seperti perpaduan antara suara laki-laki dan perempuan. Pandangan matanya juga kosong.

“Mas, sepertinya aku ngidam. Ayo, cepat carikan aku bunga melati. Aku tak sabar ingin memakannya. Cepatlah, Mas!” lanjut Murni sambil mendorong tubuh Hadi agar pergi.

Meski agak merasa aneh, tapi Hadi akhirnya pergi mencarikan bunga melati untuk Murni.

Setelah dapat, ia bawa pulang dan disuguhkan untuk istri tercinta. Murni langsung melahapnya sampai tak tersisa.

B E R S A M B U N G

ANAK IBLISTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang