Mencekam

308 15 8
                                    

Angin malam terasa dingin menusuk pori-pori. Kabut tipis menyelimuti desa. Para penduduk sudah mulai sepi, terlelap dalam tidur di rumah masing-masing. Semua pintu rumah sudah tidak ada lagi yang terbuka.

Di malam yang larut, Murni membawa sekop, sedang Hadi memikul cangkul. Keduanya berjalan perlahan menyusuri jalanan desa menuju pekuburan. Sesekali menoleh ke sana kemari memastikan keadaan. Suara hewan malam mengiringi langkah pasangan suami istri itu.

Saat sampai di gapura pekuburan, suara burung hantu seolah menyambut kedatangan mereka. Disusul suara burung gagak, kemudian anjing yang melolong bak serigala.

Murni mendesis kedingingan lalu mengusap tengkuknya yang seolah ditiup oleh seseorang dari belakang. Pun dengan Hadi, nyalinya mendadak menciut saat melihat situasi di pekuburan itu, yang gelap dan sunyi. Lelaki itu kepayahan menelan ludah.

“Ck!” decak Hadi seraya mengetuk-ngetukkan senter ke pahanya yang mendadak sorotnya meredup.

“Kenapa, Mas?” tanya Murni dengan nada berbisik.

“Nggak tahu nih, senternya mendadak redup gini. Padahal, kan, tadi baru aja dicas,” papar Hadi. Kemudian ia menurunkan cangkulnya dan meletakkan di tanah, kemudian membetulkan senternya.

“Nah, gini, kan, enak!” seru Hadi saat senternya kembali menyala terang. Kemudian lanjut berjalan memeriksa setiap makam yang berjajar rapi. Mencari makam yang sekiranya masih agak baru. Yang kemungkinan jasadnya baru mengalami pembusukan. Di sanalah kemungkinan besar adanya belatung. Sedang Murni terus mengekori, sambil terus mengulum bibir ia sudah tidak sabar ingin merasakan sensasi mengunyah belatung itu.

“Ayo, Mas! Cepetan!” rengek Murni sudah mulai kehilangan kesabaran.

“Sabar to! Masih mencari kuburan yang agak baru ini, loh,” jawab Hadi, sambil menyorotkan senternya ke arah gundukan tanah kuburan.

“Nah, ini kayaknya masih agak baru!” ucap Hadi.

“Ya, sudah, cepetan digali!” titah Murni sambil sedikit mendorong tubuh suaminya agar cepat.

“Iya iya!” sahut Hadi. Lantas mulai menggali tanah yang menggunduk itu.

Hadi mengerahkan segala kekuatannya untuk terus menggali. Rasa capek berpadu rasa takut membuat tubuh kekarnya berkeringat. Sesekali ia berhenti sejenak untuk menyeka keringat yang mengalir di keningnya.

“Uweeek!” Hadi nyaris saja muntah saat aroma bangkai mulai tercium menyengat hidung.

Sedang Murni malah menjilati bibirnya seolah mencium aroma yang sangat lezat saja. Ia menghirup dalam-dalam aroma busuk menyengat itu seolah menghirup aroma makanan terlezat saja. “Ayo, Mas, buruan!”

Sambil terus mual-mual nyaris muntah, Hadi terus menggali sampai jasad yang terbungkus kain kafan dan sudah mengalami proses pembusukan itu terlihat jelas. Murni yang sudah tak sabar langsung turun ke dalam liang dan memunguti belatung itu lantas memakannya dengan lahap.

Hadi balik badan membelakangi istrinya sambil terus ‘uwek-uwek’ kemudian ia naik ke permukaan terlebih dahulu, dan memuntahkan isi perutnya di sisi kuburan. Lantas terduduk lemas sambil memegangi perutnya yang masih mual luar biasa. Aroma bangkai itu pun menguar seolah menyebar ke seluruh penjuru makam.

Murni masih asyik memunguti belatung di dalam liang lahat. Memakannya dengan khidmat. Menikmati sensasi belatung yang pecah di dalam mulutnya saat dikunyah sampai matanya merem-merem.

“Dek, sudah dong! Yuk, naik ke atas. Kita tutup kuburannya, lalu pulang,” bujuk Hadi.

“Nanti dulu. Sebentar lagi,” rengek Murni. Hadi lanjut muntah-muntah lagi, ia sedikit menjauh dari liang kuburan itu.

“Mas, udah! Tolongin aku mau naik!” teriak Murni. Hadi menghela napas lega. Lantas mendekat dan menarik istrinya ke permukaan. Kemudian menutup lagi makam itu seperti sediakala.

Suami istri itu lantas pulang. Aroma busuk dari jasad tadi seolah menempel di tubuh keduanya. Murni menikmati aroma itu. Sedang Hadi terus saja mual di sepanjang jalan.

Sampai rumah, Hadi langsung mandi dan mencuci baju serta cangkul dan sekop. Kemudian merebus air untuk Murni agar mandi juga. Awalnya Murni menolak, ia senang menikmati aroma busuk yang tertinggal di badannya itu. Namun, setelah dibujuk oleh Hadi, akhirnya mau mandi juga.

“Sudah, ya! Lain kali kalau ngidam jangan aneh-aneh lagi!” ujar Hadi mewanti-wanti.

“Orang ngidam itu nggak bisa diprediksi, Mas.” Murni bersungut lantas menarik selimut dan tidur dengan nyenyaknya.
Sedang Hadi masih terjaga, ia merasa aneh dengan ngidam yang dialami oleh istrinya itu. Juga masih terus terbayang jasad dalam kubur serta aroma busuknya.

***

Malam telah berlalu. Hari itu, salah satu warga desa melintas di pekuburan berniat mencari rumput untuk pakan ternaknya. Pria paruh baya itu terkejut saat melihat salah satu makam bekas digali. Bahkan aroma busuknya masih tertinggal di permukaan gundukan tanah itu. Pria bernama Yitno itu lantas kembali pulang dan melaporkan apa yang dilihat tadi ke pamong desa.

Kabar adanya makam yang digali itu pun dengan cepat menyebar ke seluruh penduduk desa. Desa pun geger. Banyak warga yang berspekulasi.

“Mungkin ada yang ambil tali pocongnya untuk pesugihan,” kata salah satu warga.

“Bisa jadi,” sahut warga lainnya.

Ada juga yang berspekulasi bahwa jasadnya diambil untuk santapan iblis, dan masih banyak lagi opini warga yang terdengar riuh. Tidak sedikit warga yang ikut pamong desa ke makam untuk memastikan.

Suasana makam yang biasanya sepi, kini mendadak ramai bak pasar saja. Dipenuhi warga desa yang penasaran dengan kebenaran berita tentang adanya makam yang digali secara misterius itu.

Demi menyamarkan perbuatannya, Hadi dan Murni pun turut melihat kuburan itu. Ikut menimbrung saat ada yang berbicara. Keduanya berpura-pura ikut tercengang. Dari kejauhan Murni dan Hadi saling tatap lantas tersenyum tipis.

Suasana desa yang biasanya aman dan damai, kini jadi mencekam saat malam tiba.

ANAK IBLISTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang