"Lah, rangorang pada ke mana?" Andre yang baru saja keluar dari toilet merasa heran karena mendapati rumah dalam keadaan lengang. Padahal kondisi di luar masih gerimis. Andre berkeliling, memeriksa dari satu ruang ke ruang lain. Hasilnya nihil. Semua temannya tak satu pun yang ia temui.
"Sialan! Kok aku ditinggal sendirian. Pada ke mana si?" umpatnya kesal.
"Gaes, bercanda kalian nggak lucu!" teriak Andre kemudian. Dia pikir mungkin temannya bersembunyi di balik lemari atau kolong meja untuk mengerjainya. Namun, detik berlalu berganti menit, kondisi masih sama. Hening. Temannya tak ada yang keluar dari persembunyian sambil tertawa merasa menang seperti harapannya.
"Brengsek! Pada ke mana, si? Bukannya kalau malam hari harusnya nggak boleh ada yang berkeliaran di luar rumah?" gumamnya sambil melangkah mendekati pintu. Tangannya yang siap memegang gagang pintu, urung. Andre termenung, dilema antara keluar atau diam di rumah menunggu yang lain kembali. Duduk di sofa ruang tamu sambil berusaha menghubungi yang lain menjadi pilihan Andre.
"Sinyal kenapa mendadak hilang tanpa jejak, si!" umpatnya lagi. Andre mengusap tengkuknya yang tiba-tiba merinding. Matanya menelisik ke segala arah. Hawa negatif tiba-tiba menyergapnya tanpa ampun.
"Ndre!" Asti menepuk bahu Andre dari belakang. Sontak saja Andre berteriak sekuat tenaga. Kaget sekaligus ketakutan.
"Woilah! Dipanggil malah teriak! Berisik!" maki Asti.
"Lagian kamu ngapain tiba-tiba muncul di situ! Ngagetin aja! Dari mana kamu?" cecar Andre.
"Dari kamar. Ketiduran tadi. Lah, kok sepi, yang lain mana?" tanya Asti sambil celingukan.
"Nah itu dia, aku juga gak ngerti yang lain pada ke mana. Kan ceritanya tadi aku ke toilet sambil main game, pas keluar udah sepi. Bahkan, tadi aku pikir kamu juga pergi sama yang lain."
"Lah, pada ke mana hujan-hujan gini? Bukannya seharusnya gak boleh keluar, ya, malam-malam gini?"
Andre mengedikkan bahunya. Asti mencoba memanggil semua teman yang tidak terlihat, tidak ada yang nyahut.
"Tadi udah aku panggil, bahkan aku udah keliling, nggak ada mereka," jelas Andre. Tak berselang lama terdengar suara langkah kaki dari arah kamar mandi. Sontak saja membuat Asti dan Andre mematung di tempat masing-masing. Matanya saling lirik ketakutan.
"Ndre, bukankah di rumah ini hanya ada kita berdua?" tanya Asti lirih. Andre membisu tak punya keberanian untuk bersuara.
"Aaak!" jerit Asti dan Andre bersamaan saat suara langkah kaki itu kian dekat.
"Kalian kenapa, sih?"
"A--a--ayu?!" seru Andre dan Asti kompak lagi.
"Iya, ini aku!" jelas Ayu ketus.
"Kamu ... dari mana?" tanya Asti.
"Dari toilet. Perutku mules abis makan sambel tadi," jelas Ayu masih sambil memegangi perutnya yang panas.
"Hah?! Yang bener kamu! Kok tadi aku panggil-panggil nggak nyahut?" tanya Andre.
"Iya, aku juga tadi manggil loh," sambung Asti.
"Sorry, aku pake earphone." Ayu lanjut nyengir. Andre dan Asti menghela napas kesal.
"Lah, yang lain mana?" tanya Ayu setelah menyadari sebagian temannya tak terlihat.
"Nah, itu dia yang dari tadi kami pikirin, Yu. Dipta, Ruli, Dimas, Wendi sama Putri nggak ada," jelas Asti.
"Hah?! Masa sih? Ke mana mereka? Masa iya mereka keluar malam-malam gini? Mana hujan pula."
Setelah berdebat antara mau nyusul yang lain atau menunggu, akhirnya Asti dan Andre sepakat dengan usulan Ayu, ketiganya memilih untuk menunggu yang lain kembali.
***
Sementara itu, Dimas, Dipta, Ruli, Wendi dan Putri mengetuk pintu dari satu rumah ke rumah yang lain. Namun, tak satu pun yang menyambut kedatangan mereka. Warga memilih bungkam.
"Sudahlah, kita pulang saja," ujar Putri putus asa dan juga merasa capek.
"Kenapa kita nggak coba ke rumah Pak Lurah saja dulu?" usul Ruli.
"Ini sudah larut, lagi pula rumah Pak Lurah di ujung desa sana. Masih sangat jauh," timpal Dimas.
"Lalu, bagaimana ini?" sahut Wendi.
"Sebaiknya kita kembali ke rumah saja. Siapa tahu Asti, Ayu dan Andre sudah di rumah. Lagian sepertinya hujan bakal deras lagi," ujar Dipta sambil melihat ke langit yang gelap.
Sempat terjadi perdebatan, karena Ruli beranggapan keputusan untuk pulang itu salah. Seharusnya pencarian dilanjutkan sampai ketiga temannya ketemu atau mininal ke rumah kepala desa dulu untuk memastikan. Namun, akhirnya Ruli harus pasrah ikut pulang juga. Dia tidak punya cukup keberanian untuk pergi ke rumah pamong desa sendirian. Putri yang menggigil kedinginan yang membuat semua sepakat untuk pulang saja dulu, dan berniat akan melanjutkan pencarian esok hari.
Dipta melepas jaketnya lalu menyelimutkan ke tubuh Putri yang makin menggigil. "Udah, pake aja. Aku aman, kok," jelasnya sebelum Putri menolak.
"Makasih," jawab Putri, bibirnya gemetar kedinginan.
Sesampainya di rumah, saat Dipta membuka pintu dan mendapati Asti, Ayu serta Andre sedang ketawa-ketawa bercanda di ruang tamu langsung murka.
"Kalian keterlaluan!" hardik Dipta sambil nyelonong masuk. Asti, Ayu dan Andre yang bahkan belum sempat bertanya 'dari mana' pun terdiam dan saling lirik kebingungan.
"Kalian tega ya, ngerjain kita!" lanjut Dipta masih berapi-api. Pikirnya, ketiga temannya itu telah mengerjainya.
"Lihat, gara-gara ulah kekanakan kalian, Putri kedinginan, dan kita berlima harus keluar malam-malam kondisi hujan!" Dipta masih meluapkan amarah dan kekecewaannya.
Andre yang semula duduk di sofa langsung berdiri. "Maksud lo apaan ngomong kek gitu, hah?!"
"Iya, apaan sih? Siapa yang ngerjain kalian?" sahut Asti ikut tak terima asal dituduh begitu saja.
"Nggak ada yang ngerjain kalian. Lagian, ngapain kalian keluar ninggalin kita bertiga di rumah? Apa coba maksudnya?" Ayu ikut bersuara.
"Sudah-sudah, nggak usah bersitegang gini. Calm down semuanya. Oke. Ini bisa kita bicarakan baik-baik." Wendi berusaha menengahi.
"Nah, setuju. Mending ini kita yang pada basah ganti baju dulu, dan yang nggak basah buat minuman hangat, teh sama kopi," saran Ruli. Semua sepakat.
Bruk!
Tiba-tiba tubuh Putri ambruk ke lantai tak sadarkan diri. Bersamaan hujan yang kembali deras, angin terdengar ribut di luar sana bersahutan dengan kilat yang menyambar. Mulanya, tubuh Putri dibaringkan di sofa dan berusaha disadarkan menggunakan minyak kayu putih juga digosok-gosok tangan beserta kakinya. Namun, Putri tak kunjung sadarkan diri.
"Udah, kita pindahin aja dia ke kamar," usul Dipta dan semua sepakat. Dipta bergegas membopong tubuh Putri ke kamar dan membaringkannya di atas kasur, "Kalian gantikan pakaiannya yang basah itu!" titahnya kepada Asti dan Ayu. Keduanya mengangguk patuh. Lantas para cowok pun keluar kamar guna memberi ruang untuk Asti dan Ayu mengganti pakaian Putri.
KAMU SEDANG MEMBACA
ANAK IBLIS
TerrorMurni dan Hadi adalah pasangan suami istri yang sudah lama menikah, tapi belum juga dikaruniai keturunan. Berbagai macam cara telah mereka lakukan demi mendapat seorang anak, baik secara medis atau non medis. Namun, tidak kunjung membuahkan hasil. S...