SETELAH ARI-ARINYA DISATE

117 4 0
                                    

"Kamu mulai lagi ngidam aneh-aneh. Baru saja dibilang tadi jangan aneh-aneh!" Hadi kesal.

"Ya, gimana, ini anakmu yang mau, Mas!" sahut Murni sengit.

Hadi menghela napas berat. Ingatannya kembali pada saat Murni ngidam bola mata kala itu. Bayinya ngamuk saat keinginannya tidak dituruti. Hadi, ngeri kejadian itu terulang lagi. "Mana ada ari-ari bayi, Dek," ujarnya lesu.

"Besok ada yang lahiran, Mas!" celetuk Murni, lalu pergi ke kamarnya sambil besungut-sungut.

Hadi kembali tidak bisa tidur, pikirannya kacau balau. Lalu, timbul pertanyaan dalam hatinya, 'Apa benar anak yang dikandung istriku itu ... anakku?' Hadi lanjut menghela napas kasar, mendongak, menunduk, menyugar rambutnya. Pikiran dan perasaannya malam itu sangat kacau balau.

***

Pagi itu, saat Hadi sedang memberi sarapan ayam-ayamnya. Trisno tetangganya datang dengan langkah tergopoh. Berteriak memanggil Hadi di teras. Murni yang kebetulan sedang menyapu pun mendekat.

"Ada apa, Mas Tris?" tanya Murni masih sambil memegang sapu ijuk.

"Hadi ada?"

"Ada."

Belum sempat Murni memanggil, Hadi sudah datang mendekat. "Ada apa to, Mas Tris?"

"Ayo, bantu aku," pinta Trisno.

"Bantu apa?" tanya Hadi memastikan.

"Istriku mau melahirkan. Tolong, bantu antar ke puskesmas. Soalnya mau minta bantuan orang lain, semua sudah pada pergi ke ladang," jelas Trisno.

Murni menyikut lengan suaminya pelan. Hadi yang seolah sefrekuensi pun langsung paham maksud kode dari Murni. Dan langsung bergegas membantu Trisno.

***

Tangis bayi menggema di ruang bersalin. Hadi yang menunggu di luar ruangan, dadanya berdebar-debar. Ia berandai-andai, membayangkan ketika istrinya kelak melahirkan pasti akan seperti itu juga. Hadi menjadi sangat tidak sabar menunggu momen Murni melahirkan dan mendengar langsung tangis bayinya sendiri. Tanpa terasa ada yang basah di sudut matanya. Saat pintu terbuka, Hadi cepat-cepat menguasai emosinya dan mengusap matanya yang basah.

"Puji syukur, bayiku sudah lahir, Di." Trisno langsung memeluk Hadi mengekspresikan kebahagiaannya.

"Selamat, ya, Mas Tris." Hadi menyalami Trisno usai menyudahi adegan berpelukan.

"Terima kasih." Trisno membalas sambil menepuk-nepuk pelan bahu Hadi.

Lima belas menit berlalu, seorang perawat keluar memberitahukan jika ibu dan bayinya telah selesai dibersihkan. Kemudian perawat itu menyerahkan plastik berisi plasenta.

"Biar saya saja yang bawa pulang dan menguburnya, Mas. Sekalian nanti mengabarkan sama keluarga sampean." Hadi langsung inisiatif menawarkan bantuan. Tentu saja Trisno sangat senang dan tak henti mengucap terima kasih. Hadi langsung pamit pulang duluan.

"Oya, ini menguburnya di depan rumah atau belakang, Mas?" tanya Hadi memastikan sebelum ia melangkahkan kaki meninggalkan puskesmas.

"Di belakang rumah saja, Di. Dekat pohon pisang," jelas Trisno. Hadi mengangguk paham, lalu pulang.

****

Sebelum membawa ari-ari bayi itu pulang, Hadi membuat kuburan plasenta palsu di belakang rumah Trisno. Di dekat pohon pisang sesuai arahan Trisno.

Saat berjalan pulang, Hadi celingukan seperti maling. Dalam hatinya berharap tidak berpapasan dengan orang lain. Namun, harapannya tidak terkabul, ia bertemu dengan Bu Wage yang baru saja pulang dari kebun. Kala itu hari memang sudah sore, sudah waktunya para petani pulang.

"Dari mana, Di?" tanya Bu Wage.

"Dari puskesmas, Bu," jawab Hadi sambil menahan rasa ketar-ketir.

"Loh, ngapain? Murni baik-baik saja to?"

"Baik kok, Bu. Nemenin Mas Trisno, istrinya melahirkan."

"Oalah. Sri sudah lahiran!" seru Bu Wage ikut senang. Hadi mengangguk dan berharap Bu Wage tidak bertanya soal kantong plastik yang ia bawa. Namun, lagi-lagi harapannya tidak terkabul.

"Itu apa?" tanya Bu Wage sambil meneleng melihat plastik yang Hadi bawa.

"Oleh-oleh, buat Murni."

"Oh, kok dilalerin gitu?"

"Iya, soalnya ini daging, Bu. Tadi, setelah saya konsultasi sama dokter di puskesmas, ternyata kebutuhan proteinnya harus dipenuhi. Kasihan selama ini istri saya hampir tidak pernah makan daging soalnya," dalih Hadi berbohong.

"Oh, ya ya ya. Ya udah, cepet bawa pulang, nanti keburu nggak enak dagingnya."

Hadi mengangguk, menghela napas lega, lalu bergegas pulang. Setelah bertemu Bu Wage, sempat bertemu warga lain. Tetapi, untungnya tidak sekepo Bu Wage. Hanya bertanya 'dari mana' saja.

Sampai di rumah, Hadi langsung duduk di kursi jerami ruang tamunya. Ditaruhnya bungkusan plastik hitam berisi plasenta itu di atas meja kayu persegi kecil. Ia menyandarkan punggung dan menghela napas lega.

Murni yang semula ada di belakang, langsung tergopoh mendekat. Dan langsung mengambil bungkusan di meja. Lantas membawanya ke belakang. Tak berselang lama, Hadi menyusul ke dapur. Ia sangat haus ingin minum. Namun urung saat mendapati Murni merajang ari-ari penuh semangat. Kemudian menusuk plasenta yang sudah diiris menggunakan tusuk sate dari bambu yang dibuat oleh Murni sendiri. Bahkan api yang untuk memanggang pun sudah siap.

"Nggak dicuci dulu, Dek?" tanya Hadi sambil menahan mual.

"Biar apa dicuci," jawab Murni, tapi seperti bukan suara dan perilakunya sendiri. Murni tampak tak sabaran ingin segera melahap sate itu.

Murni memanggang sate itu dalam api yang besar sehingga cepat matang. Baru saja diangkat dari pemanggangan, langsung dilahapnya seperti orang kesetanan. Nasihat Hadi agar hati-hati memakan sate panas itu pun tak digubris oleh Murni. Dalam sekejap, sate itu ludes menyisakan tusuknya saja.

***

Trisno dan Sri kebingungan dengan kondisi bayinya yang makin kurus dan lemas. Namun, saat diperiksakan ke dokter, bayinya tidak terdeteksi penyakit apa pun. Saat dibawa ke dukun, konon ada aura hitam menyelimuti bayi itu. Berbagai upaya Trisno dan keluarga lakukan untuk mempertahankan bayinya. Namun, tepat sebulan pasca lahir, bayi itu akhirnya kalah tak kuasa melawan  penyakit misteriusnya. Sementara perut Murni makin buncit dan janin dalam kandungannya makin aktif, padahal baru berusia 3 bulan.

ANAK IBLISTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang