Sup Bola Mata

128 6 0
                                    

Hari demi hari terus berlalu. Pelaku penggalian makam salah satu warga tak terungkap. Murni dan Hadi kini merasa aman. Semua warga memilih untuk melupakan kasus itu, termasuk keluarga jenazah.

Menjelang siang, Hadi baru saja pulang dari kebun. Murni langsung menyambutnya dengan rengekan. Ya, Murni ngidam lagi. Dan lagi-lagi ngidamnya sangat diluar nalar. Hadi mencoba membujuk Murni agar mengurungkan keinginannya itu. Namun, yang terjadi malah pertengkaran dan berakhir perang dingin.

***

Malam makin larut, Murni gelisah tak bisa tidur. Dia terus saja terbayang sup bola mata. Tenggorokannya naik turun saat membayangkan sensasi bola mata pecah di mulutnya. Murni tak bisa lagi menahan ngidamnya itu. Semakin ditahan semakin terbayang jelas dan membuatnya tak terkendali.

"Mas, bangun!" Murni membangunkan Hadi dengan kasar.

Hadi melenguh, lalu membuka matanya perlahan, "Hmmm, kenapa?"

"Aku mau sup ...."

"Oh, ayolah, jangan bilang masih soal tadi siang!" Hadi menyela.

"Ya mau bagaimana lagi?! Aku sudah berusaha menekan keinginanku, tapi aku nggak bisa, Mas!" Murni bersungut sebal.

"Pokoknya enggak! Sekali enggak, ya, enggak! Udah, cukup! Jangan ngidam yang aneh-aneh lagi!" omel Hadi tegas. Murni terdiam menahan amarah yang bergejolak dalam dadanya. Selang beberapa saat, tiba-tiba dia merasakan pergerakan di perutnya.

"MAAAS!" teriak Murni. Sontak membuat Hadi yang semula sudah terpejam bangun lagi.

"Anak kita gerak-gerak," lanjut Murni girang.

Hadi langsung dalam posisi duduk, "Benarkah?!" sahutnya antusias. Dia langsung menempelkan tangannya ke perut istrinya, dan benar saja gerakan janin itu bisa dia rasakan dengan jelas. Hadi tersenyum bahagia, dia lantas menempelkan telinganya ke perut Murni.

"Hai, Nak, selamat malam. Kamu sedang apa? Mau apa?" sapa Hadi dengan mata berkaca-kaca.

"Sup bola mataaa!" Mendengar suara serak berat dari dalam perut Murni, Hadi berjingkat kaget. Spontan dia langsung menjauhkan telinganya dari perut sang istri.

"Tidak!" jawab Hadi dengan perasaan yang berubah bingung dan tidak percaya. Dalam hati nuraninya, Hadi menyadari ada yang tidak beres dengan kehamilan Murni.

"Kenapa, Mas?" tanya Murni.

Hadi menggeleng, "Besok kita pergi ke dokter ahli kandungan."

Belum sempat Murni menanyakan tujuan suaminya mengajaknya ke dokter kandungan, tiba-tiba dia merakasan panas pada perutnya. Panas seperti orang habis makan cabai terlalu banyak.

"Arrrgh!" Murni mengerang saat perutnya makin sakit.

"Kamu kenapa?" tanya Hadi panik.

"Perutku ... sakiiit!" jerit Murni. Detik kemudian janin di perut Murni bergerak tak beraturan. Seperti ada seekor tikus yang berlarian di dalam perutnya.

Hadi mengelus perut Murni, tapi pergerakan janin itu tidak berhenti juga. Malah makin menjadi.

"Kita ... kita ke rumah sakit saja," ajak Hadi siap membopong istrinya.

Murni menggeleng, "Tidak! Ini akan sembuh saat ngidamku kesampaian, Mas!"

Hadi depresi. Dia turun dari ranjang, memegangi kepalanya. Berpikir keras. Haruskan dia menuruti permintaan nyeleneh istrinya, lagi?

"Oke, tapi kamu harus sabar, ya!" Setelah Hadi sepakat, pergerakan janin di perut Murni berhenti.

Murni tersenyum lebar, "Kamu lihat kan, Mas, anak kita berhenti bergerak. Sakitnya juga sudah reda. Dia hanya marah saat keinginannya tidak dituruti."

Hadi hanya diam mematung tanpa ekspresi. Selain bingung bagaimana caranya mendapatkan bola mata manusia yang segar. Dia juga mulai menyadari sesadar-sadarnya bahwa janin yang dikandung istrinya tidak wajar.

ANAK IBLISTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang