Dua

1.9K 221 9
                                    

Setelah menyerahkan hasil analisis item vaksin ke Juna. Ayu seperti tidak ada lagi semangat untuk melanjutkan hari.

Meskipun pak Sapta sudah menghiburnya dengan kalimat "Everything is okay, Yu." Tapi seakan itu menegaskan sebaliknya pada tim 1-3.

Ayu tahu. Selama empat tahun ia menjadi kru pak Sapta. Pelimpahan item proyek yang sedang dikerjakan timnya adalah bagian terburuk oleh kinerja mereka selama ini. Dan itu cukup mengganggu moodnya hari ini. Selain kata-kata pedas atasan pagi tadi.

Tertunduk menumpukan kepala di meja, tanganya mencoret-coret asal di lembar buku catatan harianya.

Ia mendapat tepukan di punggung. Lama-kelamaan tepukan itu menjadi elusan yang nyaman. Ia tahu itu adalah Qila teman samping kubikelnya.

Namun, lama-kelamaan juga ia jadi menitikan air mata.

Ia rindu elusan nyaman itu yang ia peroleh dulu saat-saat dalam keadaan badmood seperti sekarang ini. Dan itu dilakukan dulu oleh separuh hidupnya yang telah pergi.

Selama dua tahun ini, ia menjadi wanita tangguh dan tak peduli oleh ucapan orang sekitar. Ia menulikan telinga dan berjuang dengan kerasnya untuk separuh hidupnya yang lain yang tersisa. Tapi ada kalanya sebagai wanita, ketangguhan itu akhirnya tumbang juga seperti saat ini.

"I am okay, Qi." Ucapnya di sela air mata yang masih meniti. Meneguhkan dirinya. Ia benci terlihat lemah oleh orang lain. Meskipun itu teman terdekatnya saat ini.

"It's okay mbak. Empat tahun kita temenan mbak, gue tahu lo. Kita sama-sama berjuang. Dan itu bukan akhir segalanya bagi kita. Mbak tahu? Definisi tangguh itu bukan berarti tanpa air mata, Mbak." Ucap Qila memberi semangat.

"Item itu yang gue buat dari awal sampai akhir tanpa campur tangan pak Sapta. Tapi kepercayaan pak Sapta enggak bisa gue jaga. Gue gagal, Qi. Dan gue tahu, ini penting banget bagi pak Sapta, anak pertamanya mau masuk kuliah kedokteran tahun ini."

Qila tetap menepuk-menepuk punggung Ayu. Sedang Ayu buru-buru mengusap air mata ketika pak Sapta masuk ruangan menuju kursi kebesaranya di ujung ruangan tembus pandang tim 1-3.

Sekembalinya pak Sapta dari ruang wakil direktur untuk pelimpahan wewenang dan penyerahan dokumen penunjang ke tim 1-2, sebenarnya di sana sudah terjadi perdebatan alot antara wakil direktur baru, pak Abi, dengan manajer Marketing, pak Ale. Manajer marketing merasa bahwa pelimpahan proyek dari tim 1-3 ke tim 1-2 oleh wakil direktur tanpa sepengetahuanya adalah tindakan tidak sopan karena melangkahinya sebagai manajer marketing. Seharusnya wakil direktur bisa mendelegasikan tugas itu ke manajer marketing atau setidaknya meminta persetujuan atau masukan terlebih dahulu sebelum langsung menghentikan proyek yang digarap tim 1-3 dan melimpahkan ke tim 1-2. Bahkan tindakan wakil direktur itu adalah sebuah tindakan kekanakan.

Bagaimana tidak. Menurut pak Ale, seorang wakil direktur seharusnya bisa menjadi orang yang bisa memberikan problem solving yang lebih bijak. Ketimbang menjadikan tim menjadi bersaing tidak sehat.

Selama ini, sebagai manajer marketing ia selalu mengambil langkah adil pada setiap tim marketing, agar manajemen marketing intern bisa berjalan dengan sehat. Dengan begitu penjualan bisa berjalan maksimal. Karena tidak adanya persaingan saling merebut klien. Kecuali jika itu dilakukan oleh perusahaan yang berbeda.

Di mata manajer marketing, yang dilakukan oleh wakil direktur yang baru tiga bulan lalu menjabat posisi itu sangat rentan. Bukan, malah persaingan tidak sehat itu ada di depan mata. Karena dianggap menganak tirikan tim 1-3 dan menganak emaskan tim 1-2.

Tapi, seberapapun kerasnya pak Ale memprotes tindakan wakil direktur, tetap tak mengubah langkah untuk melimpahkan proyek item tim 1-3 yang tertahan di pelabuhan ke tim 1-2. Alasanya agar barang bisa terselamatkan segera. Dan langsung bisa dijual ke klien. Intinya menghindari kerugian. Benar-benar jiwa bisnis bukan?

SEPARUH (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang