Satu

3.8K 258 32
                                    


Ayu, perempuan berhijab itu memacu motornya lebih cepat dari biasanya. Dengan kecepatan maksimal, ia menerobos jalanan padat ibu kota yang macet mengular hingga berkilo-kilo. Gaspol..

Meliuk-liuk diantara pengendara lainya ia terus memacu. Dan itu sudah menjadi pemandangan lumrah di tiap kota besar di Indonesia.

Memang sebagai orang tua tunggal dari anak semata wayangnya, ia dituntut untuk tangguh di segala medan, dan situasi. Seperti situasi kemacetan pagi ini.

Ia keluar dari rumah sekitar pukul 08.10 WIB tadi. Sementara, jam masuk kantor tempat ia bekerja pukul 08.00 WIB. Ia sudah terlambat. Karena tadi saat ia sudah bersiap-siap untuk berangkat ke tempat kerjanya, tiba-tiba Zizi, anak semata wayangnya merengek minta dibuatkan susu. Sementara kemauan Ayu, agar anaknya itu mandi terlebih dahulu.

Jadilah perdebatan alot antara ibu-anak itu berlangsung beberapa saat, sehingga ia terlambat berangkat pagi itu. Benar-benar konyol.

Ia terus memacu motornya. Klakson ia bunyikan hampir sepanjang perjalanan untuk menghalau pengendara lain agar berwaspada karena kecepatan motor yang ia pacu.

Ia tidak peduli dengan umpatan pengendara lainnya. Karena ia pun sama, sesekali mengumpat pada orang yang sudah diklakson tapi masih saja nyelonong memotong jalan yang ia lalui untuk menyeberang.

Ia tahu mengumpat adalah hal unfaedah dan termasuk dibenci oleh agamanya. Tapi, sebagai ibu muda yang mempunyai anak batita, mau tak mau kadang kata-kata umpatan terlontar secara reflek saat menghadapi anaknya yang super aktif itu. Pun saat-saat macet dan kepepet begini. Tapi dalam hati yang terdalamnya ia ingin selalu menghindari kata-kata umpatan unfaedah itu.

***

Pagi itu, cahaya mentari masuk melalui jendela kaca tembus pandang di lantai 15 gedung perkantoran di bilangan Jakarta Selatan.

Cahayanya kilap cerah beralas langit biru membentang.

Angin semilir keluar dari Air Condotioner ruangan, mendinginkan meeting room yang panas suasananya walaupun sepagi itu.

Ayu, perempuan berhijab, berbulu mata lentik itu masih berdiri dan belum diijinkan untuk duduk oleh atasanya.

Ia sadar, bagaimanapun ia salah, karena sudah datang terlambat. Walau alasan apapun, atasan tetap tidak akan pernah mentolerir keterlambatan.

Ia membulatkan hati. Ia akan diam saja, menerima konsekwensi apa saja yang akan dikatakan oleh atasanya. Karena ia sadar, menjawab pun tak akan pernah menjadikan ia baik di mata atasanya.

Mungkin alasan keterlambatan yang akan ia lontarkan terdengar konyol jika mengungkapkanya pada atasan otoriternya itu. Yaitu berdebat dengan anaknya yang masih berumur tiga tahun. Dan perdebatan itu tentang antara mandi dan minum susu mana yang harus anaknya lakukan terlebih dahulu. Benar-benar konyol bukan?

Bayangkan, anak tiga tahun ia ajak berdebat. Tapi itulah yang terjadi dengan dirinya.

"Apa anda akan berdiri saja di situ, mbak Sri?" Setelah panjang lebar atasan melontarkan kata-kata sepedas cabe jalapeno, kini akhirnya menyudahi dan memberikan ruang untuk Ayu duduk bersama karyawan lainya dalam meeting room itu.

Atasanya sebenarnya hanya berharap kalimat pedasnya masuk ke telinga dan Ayu bisa memperbaiki kesalahannya. Kesalahan karena keterlambatan yang hampir sebulan ini ia terus ulang-ulang.

Banyak alasan yang Ayu lontarkan tiap kali ia terlambat. Tapi, yang paling konyol adalah hari ini.

Ayu tidak membalas pertanyaan itu. Ia hanya lekas bergerak mengambil tempat duduk yang masih kosong yang tersisa.

SEPARUH (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang