Jika dalam sehari ada dua puluh empat jam dan satu minggu ada lima hari kerja. Rasanya masih kurang bagi Ayu untuk menyelesaikan setumpuk pekerjaan yang menjadi deadline-nya minggu ini.Maka, di sinilah ia sekarang. Duduk sembari mendengarkan musik jazz yang menenangkan yang ia putar dari komputernya. Ditemani semangkuk bakmie Jawa yang masih mengepul menguarkan aroma gurih sedap memenuhi seluruh ruangan tim 1-3, menjadikan cacing dalam perutnya meronta-ronta. Ia pesan lewat aplikasi tadi.
Malam ini ia lembur sendiri untuk mengejar laporan yang akan dijadikan bahan rapat bersama pak Danu yang baru-baru ini kembali dari pengobatanya di Singapura.
Ia masih menekuri keyboard komputer, menekanya perlahan hingga terangkai membuat sebuah laporan.
Beberapa saat berjalan. Jam menunjuk pukul 21.00 WIB. Ah... rasanya lelah sekali.
Ia ingin segera cepat-cepat pulang. Bercengkeraman dengan Zizi dalam gulungan selimut atau hanya sekedar shalat bareng sekaligus membiasakan anak mengenal ibadah. Itu adalah hal-hal kecil yang sangat-sangat priceless time versi Ayu.
Ketika ketukan di pintu terdengar, ia menoleh. Didapatinya sosok tinggi dengan kemeja biru garis-garis berjalan ke arah Ayu. Sambil meminta ijin. "Boleh masuk Yu?" Ia lantas mengambil kursi yang biasa diduduki teman samping kubikel Ayu, Qila.
"Eh.. lo Nald. Belum pulang? Lembur?" Tanya Ayu berentetan.
Ronald duduk santai dengan kaki kiri yang ia julurkan lurus ke depan. Ia bersandar di kepala kursi sambil memainkan hape. Ia malah balik bertanya tanpa mengindahkan pertanyaan Ayu sebelumnya. Dengan mata yang melongok ke arah komputer Ayu, memuaskan keinginantahuanya. "Ngerjain apaan sih, sampe malam gini?"
"Bukan apa-apa. Cuma laporan untuk materi rapat besok sama pak Danu." Jawab Ayu santai. Sambil mata tertuju ke komputer. "Eh, by the way ngapain lo ada di lantai ini? Kemarin juga lo habis ke sini kan? Gue tabrak lo, malah lo kayak yang jadi pelaku tabrak lari, ngacir aja gitu. Buru-buru."
"Masak?" Tanya Ronald. Ia lupa.
Ayu mengangguk sambil mematikan komputer. Tak lupa sebelumnya ia save hasil pekerjaan lemburnya.
Ronald matanya meyipit dengan mulut terkatup dan melebar tanda bahwa ia sedang berpikir. "Oh, kemarin sore itu? Gue ada urusan dikit sama pak manajer. Speak-speak lah." Menjeda sebentar, Ronald melanjutkan kemudian. "Lo juga kayaknya deket sama pak Danu ya, Yu?"
Sambil membereskan sisa lemburnya, Ayu bersiap-siap pulang. Dengan pelan ia menggeleng. "Enggak lah. Kacung kaya gue, emang apalah-apalah. Kalo yang lo maksud kemarin gue ke ruangan pak Danu, itu karena selama ini pak Danu yang bantu gue ngusahain pengobatan ibu. Beliau yang memberikan rekomendasi ke dokter syaraf kenalanya untuk menangani ibu. Ya jadi..." Ayu sengaja menggantungkan kalimatnya untuk sejenak berfikir. Setelah menghela nafas satu tarikan, ia melanjutkan dengan suara lirih. "Gue kayak owe to pak Danu's family. And had to pay and say thank you. Maybe? Lo sendiri kemarin ada di ruangan pak Danu ngapain ?" Tanya Ayu yang berpapasan dengan Ronald ketika ia akan masuk ke ruangan pak Danu kemarin.
***
Ketika Ayu bersiap-siap untuk pulang. Harusnya tadi ia tak mengiyakan tawaran Ronald untuk turun ke loby bersama. Harusnya ia membuat alasan apa saja yang bisa masuk akal dan diterima oleh Ronald. Seperti contohnya ia akan ke toilet terlebih dahulu, mungkin? Dan harusnya ia tahu juga bahwa ada seseorang di sana di koridor lantai empat belas yang sedang membuntuti dengan dada yang turun naik dan emosi yang mendidih yang sudah sampai ke ubun-ubunya. Hingga .....Meledak...
Seseorang tiba-tiba menyambar tangan Ayu tepat ketika Ronald menoleh ke belakang, menarik tangan Ayu sambil berkata. "Gue peringatin lo dari sekarang." Tunjuknya pada Ronald.
KAMU SEDANG MEMBACA
SEPARUH (TAMAT)
Short StoryHidup sebagai ibu satu anak yang merangkap sebagai salah satu staff di perusahaan Ekspor Impor, Ayu hanya berpegang pada satu sisi hidupnya saja. Karena separuh hidupnya yang lain telah pergi bersama kematian suami yang ia cintai. Satu hidupnya terb...